Kegagalan Praksis Negara-Hukum Indonesia
Tampaknya, kemenangan SBY dalam pilpres kali ini tidak mendapat kado yang menyenangkan. Belum genap 100 hari masa bulan madu SBY dan Boediono sebagai kepala negara, 'bentrok' antar 'anak buah'nya meruncing. KPK 'melawan' Polri plus Kejagung. Pun demikian dengan media massa yang seolah tidak pernah bosan selama beberapa minggu belakangan memberitakan perseteruan yang semakin lama semakin ruwet nan njlimet.
Indonesia, sebagai negara hukum, tentu telah mengatur bagaimana arah gerak dan tujuan masing-masing institusinya. Namun setelah meledaknya rangkaian peristiwa tersebut, pemikiran mengenai konsep tatanan aturan kekuasaan menjadi terefleksikan kembali. Karena, meskipun secara aturan hukum kasus ini menimpa para personal, bukan secara organisasional, namun yang tidak dapat disangkal adalah, tetap saja personal-personal tersebut mempunyai kapabilitas dalam institusi formal kenegaraan tersebut. Apalagi bergeraknya pun secara 'bersama-sama' dan menggunakan 'seragam'.
Konsepsi dan Praktek Kuasa Administrasi Kenegaraan
Berbicara tentang institusi pelaksana pemerintahan, tentu tidak bisa mengesampingkan adanya kekuasaan. Sedangkan bila berbicara tentang kekuasaan dalam sistem kenegaraan tentu tidak bisa dilepaskan dari pelembagaan mengenai kekuasaan itu sendiri, yaitu eksekutif. Meminjam pandangan dari Jurgen Habermas, eksekutif inilah yang melaksanakan undangundang (atau konstitusi, dimana secara luas dapat dipahami sebagai legitimitas yang diperoleh dari rakyat yang notabene adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam politik demokrasi dan negara hukum), sehingga merepresentasikan diri mereka sebagai pemegang kuasa administrasi (kekuasaan legal atau biasa disebut pemerintah). Eksekutif ini pula yang menjadi jembatan penghubung antara kepala negara (atau negara itu sendiri) dengan rakyat luas.
Habermas juga mengingatkan bahwa eksekutif bukanlah subjek yang berkuasa untuk mengendalikan masyarakat. Eksekutif merupakan tipe kekuasaan untuk pencapaian tujuan kolektif di dalam kerangka hukum, dan karena hal itulah 'penguasa administratif' adalah bagian penting dari sebuah sistem sosial. Sekaligus kekuasaan administratif haruslah menggunakan cara-cara yang independen (dalam arti, hanya menaati norma hukum dan asas kebermanfaatan masyarakat umum, bukan untuk individu, golongan atau kelompok lainnya) dan profesional untuk merealisasikan tujuan-tujuan kolektif yang telah 'disepakati' dengan instrumen yang dimilikinya.
Hal penting lainnya adalah, hukum yang legitim tidak mengijinkan siapapun untuk 'lepas' dari jangkauannya, dikarenakan pembentukannya adalah lewat norma politis, sehingga para penyusun hukum legal tersebut juga harus menaatinya sebaik masyarakat kebanyakan. Selain itu, yang mungkin perlu diingat kembali adalah kekuasaan politis 'memakai' hukum sebagai sebagai sarana organisasi dan 'kekuasaan' ini sendiri dilegitimasikan lewat hukum. Ini penting, karena hukum sebagai norma lebih dalam daripada sekedar pelaksanaan praktisnya dan berkaitan dengan suatu kuasa atas masyarakat, dimana kuasa yang telah dilegitimasi oleh hukum tersebut adalah untuk mencapai tujuan bersama, bukan personal atau kelompok tertentu.
Percakapan atau Perseteruan 'Rakyat'?
Berkaca dari pembacaan Habermasian tersebut, 'konflik' yang terjadi diantara institusi formal negara tersebut seakan memunculkan sisi problematis mengenai legitimasi mereka. Karena yang perlu diingat, institusi tersebut bukanlah partai politik atau kelompok 'kepentingan' lainnya, yang mewakili golongan dan kepentingan tertentu. Mereka adalah institusi yang secara formal mendapat legitimasi rakyat (yang secara otomatis juga hukum) keseluruhan (baik sukarela atau tidak). Pun demikian jika membahas mengenai konsep 'kepentingan' yang ikut di dalam personal institusi tersebut, karena 'dibentuk' melalui hukum yang telah 'disetujui' oleh rakyat (meski tidak secara komprehensif), maka (harus?) relevan kiranya institusi-institusi tersebut juga melayani sang penciptanya, yaitu rakyat.
Negara hukum menurut Habermas, mengandaikan misalnya, adanya 'percakapan' yang setara antara semua anggota sistem sosial, tidak terkecuali antar institusi kenegaraan. Jika kemudian kasus tersebut dipandang sebagai percakapan, maka tetap tidak bisa dibenarkan bahwa percakapan itu mengganggu atau bahkan menghilangkan atribut mereka sebagai sarana pencapaian tujuan kolektif, hingga mereka bisa saling menabrak dan menghancurkan satu sama lain. Ketika percakapan di ranah hukum yang sedang dilakukan kemudian dipolitisasi (meskipun lagi-lagi, akan problematis jika kita memisahkan antara hukum dan politik dalam makna sedalam-dalamnya) maka akan terjadi penyelewengan terhadap konsepsi negara hukum itu sendiri. Beberapa pertanyaan yang menggelitik kemudian, apakah percakapan tersebut adalah juga merupakan ‘perseteruan rakyat’?
Karena toh, mereka sama-sama mendapatkan sumber legitimitasnya dari persetujuan rakyat. Jika coba mengambil titik positif misalnya, bahwa mereka bercakap-cakap sebagai salah satu bentuk pencapaian tujuan kolektif itu tadi, namun kenapa mereka berseteru? Akankah tujuan mereka secara organisasional berbeda? Atau tujuan 'rakyat' yang merupakan sumber legitimasi mereka berbeda?
Akhirnya…
Habermas lalu menawarkan sebuah rangkaian kata kunci dalam teori diskursusnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. “Strategi reformasi demokratis!” Begitu kira-kira ujarnya. Karena sudah seharusnya kekuasaan yang dilakukan secara administratif tidak berjalan di atas kakinya sendiri, melainkan mendasarkan dirinya pada kekuasaan yang dihasilkan secara komunikatif. Teori diskursus kemudian juga menuntut radikalisasi komunikasi politis dengan sarana diskursif yang dilakukan oleh bukan hanya pelaku politik, namun seluruh warga negara. Mungkin hal ini akan menyimpan makna ganda dalam pelaksanaannya, karena tentu, kita sudah memiliki parlemen yang (katanya) adalah representasi keseluruhan warganegara di pemerintahan.
Maka untuk poin tersebut, Habermas menggarisbawahi bahwa untuk melaksanakan hal ini adalah parlemen sebagai sumber aspirasi masyarakat (itu kalau kita berandai-andai bahwa parlemen sudah paham dalam melaksanakan esensi dan eksistensi mereka). Namun, pada titik ini pulalah parlemen juga TIDAK BOLEH melepaskan dirinya dari bermacam kran aspirasi rakyat, seperti ruangruang publik formal maupun informal yang ada di masyarakat, media massa yang 'sehat', pihak oposisi, dsb. Hal ini juga bermakna ganda bagi parlemen itu sendiri, karena parlemen selain sebagai pengawas juga diawasi oleh komunikasi demokratis yang terjadi di dalam dan luar tubuh mereka. Pertanyaannya kemudian, akankah harapan tersebut menjadi nyata? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar