(Sebuah Refleksi Kritis Terhadap Kapabilitas Simbol Negara Indonesia)
Nasionalisme, satu kata yang mungkin mengingatkan kita pada perjuangan pahlawan – pahlawan pra kemerdekaan dulu, bagaimana mereka dengan gagah berani menghadapi musuh negara, penjajah. Mulai dari jaman VOC, tentara kolonial Belanda, Inggris, sampai Jepang. Hanya untuk satu tujuan, yaitu memerdekakan negara ini dari kolonialisme para kolonialis. Sungguh trenyuh apabila mengingatnya. Tetapi, apa sebenarnya yang disebut Negara itu? Dan kenapa Negara itu identik dengan Nasionalisme? Lalu apa implikasinya pada Politik Kebangsaan Indonesia?
Negara dalam Diskursus
Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris mengatakan bahwa negara adalah suatu entitas tertinggi yang wajib melindungi setiap orang yang ada di dalamnya. Dikarenakan orang – orang tersebut telah menyerahkan sebagian kedaulatannya agar dapat hidup damai dan sejahtera. Hobbes beranggapan bahwa homo homini lupus, sehingga dibutuhkan suatu majelis atau badan yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia – manusia didalamnya. Agar, kebebasan tiap manusia tidak melanggar kebebasan manusia lainnya. Oleh karena itu, majelis atau badan tersebut berhak secara absolut untuk menghukum manusia didalamnya. Hobbes menamakannya sebagai Leviathan.[i] Inilah yang disebut dengan teori perjanjian negara.
Sama seperti Hobbes, negara dalam pandangan John Locke berasal dari state of nature manusia. Tetapi perbedaan mendasarnya dengan Hobbes ialah, negara menurut Locke ialah pelindung hak milik pribadi. Karena menurut Locke, sejatinya manusia bebas menggunakan hak milknya dengan tidak tergantung oleh orang lain. Sedangkan negara sendiri mempunyai kekuatan yang besar karena manusia menyerahkan sebagian kedaulatannya, tetapi, negara tidak berkekuasaan absolut seperti yang diungkapkan oleh Hobbes. Locke berkeyakinan bahwa negara harus mempunyai batas kekuasaan, yaitu adalah hak alamiah manusia, yaitu hak yang sudah melekat padanya ketika di lahir. Hak ini ialah hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Oleh karena itu, negara tidak bisa mengambil atau menggunakan hak alamiah ini. Sehingga Locke memisahkan antara aspek legislatif (pembuat undang – undang) dan eksekutif (pelaksana pemerintahan). Sehingga kaum eksekutif dan legislatif akan saling mengawasi (check and balance), dan ketentraman masyarakatpun terjaga.[ii] Yang kemudian oleh Montesque ditambahkan unsur yudikatif sebagai pembuat hukum.
Tetapi berbeda dengan kedua filsuf diatas, seorang asal Jerman, yaitu Karl H. Marx, menganggap bahwa eksistensi negara adalah bentuk sebuah ketidakberesan yang sifatnya fundamental dari masyarakat. Menurut Marx, negara tidak mengabdi kepada seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan klas – klas sosial tertentu saja, menjadi alat suatu kelas dominan untuk mempertahankan kepentingan mereka.[iii] Ini merupakan pemikiran Marx yang melandasakan filsafatnya pada materialisme historis.[iv]Cukup menarik bukan?
Hegemoni Nasionalisme
Ingatkah kita sewaktu berada di sekolah dasar dan menengah dahulu, ketika dilaksanakan upacara bendera di sekolah, pada saat mendengar lagu Indonesia Raya, sambil menatap Sang Merah Putih dan Burung Garuda. Terasa ada semangat yang membuncah di dada. Semua perbedaan ras, suku, agama, et cetera akan langsung sirna seketika. Seakan – akan, semua yang hadir disitu (mungkin) ingin dengan lantang berkata “Saya Warga Negara Indonesia!” Rasa nasionalisme kitapun serasa dinjak – injak ketika Malaysia berusaha mengklaim kebudayaan (asli?) kita.
Benedict Anderson, seorang pengamat kenegaraan pernah mengungkapakan bahwa Nasionalisme adalah sebuah imagine community, komunitas yang dibayangkan, karena ia dipahami sebagai perserikatan horizontal yang membangun semacam hubungan antar anggotanya dan hubungan itu bukan hubungan tatap muka sebenarnya. Sebuah komunitas yang lebih luas dari desa – desa dengan kontak tatap muka langsung adalah hasil imajinasi. Akan tetapi mereka mampu membayangkan dan memikirkan kebersamaan mereka dengan simbol – simbol yang dibuat oleh penguasa atau mereka kreasikan sendiri. [v] Jika ditelaah lebih lanjut, mungkin benar juga ujar Pak Ben, mana mungkin orang yang ada di Papua sana dapat mengenali saudara senegaranya di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan lainnya, yang secara geografis terpisah oleh lautan, dan berjarak ratusan kilometer jauhnya.
Pun demikian halnya yang dikatakan oleh Hans Kohn, seorang pemerhati nasionalisme. Paham nasionalisme menekankan bahwa kesetiaan individu sepenuhnya diserahkan pada negara kebangsaan (nation-state, yang mungkin jika dikaitkan pada perjanjian Westphalia tahun 1648, bisa disamakan dengan raison d’etre, atau alasan bernegara-bangsa). Dari hal ini impuls dan sikap rakyat banyak memegang peranan penting, digunakan bahkan diklaim untuk mengesahkan kekuasaan negara dan pembenaran kekuasaan negara.
Hal ini akan menjadi ironis ketika kita mengulang lagi pernyataan Marx, dimana negara hanya sebagai pelayan klas – klas tertentu saja. Rakyat kebanyakan “dipaksa” untuk melaksanakan kebijakan – kebijakan negara, yang adakalanya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dengan tegas, Antonio Gramsci, mengemukakan konsep hegemoninya. Hegemoni yang berasal dari kata “eugemonia” (Yunani Kuno), diartikan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara – negara kota (polis atau citystates) secara indivdual, terhadap negara kota lainnya. Contohnya Athena dan Sparta. Dewasa ini, arti hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dan dominasi. Kepemimpinan dilakukan atas segenap sekutu dan dominasi dilancarkan kepada seluruh musuh – musuhnya. Hal ini dilakukan dengan cara – cara seperti kekerasan, agitasi, produksi wacana atau propaganda, dan lainnya. Bagi Gramsci, seorang pemimpin akan memperoleh supremasinya melalui dua cara yaitu dominasi, koersif serta kepemimpinan intelektual dan moral. Singkatnya hegemoninya Gramsci ialah gabungan antara paksaan dan kesukarelaan.[vi]
Nah, jika dikaitkan antara kedua hal diatas, negara yang selama ini dianggap given atau taken for granted bisa dimentahkan. Nasionalis yang murnipun bisa dikatakan terhegemoni, oleh negara. Mungkin ini adalah buah kesuksesan dari Pak Karno dkk. serta Pak Harto dkk. Pak Karno mungkin dengan hebatnya mampu membuat slogan – slogan yang membangkitkan perasaan itu, dengan anti-barat, anti-imperialisme, dan anti-Malaysianya. Tetapi apakah Cuma sekedar itu saja yang dibutuhkan bangsa ini untuk hidup?
Salah satu diktum Michael Foucault yang terkenal ialah “Power makes Knowledge”, dan mungkin memang itu yang terjadi. Bagaimana Bung Karno mampu memproduksi (contoh) Nasakom, yang merupakan refleksi dari kelompok – kelompok yang ada di Indonesia ini. Mungkin ada yang terlupakan, disamping kondisi politik seperti ini, kawasan periphery yang tersebar di pulau – pulau dengan kebudayaannya yang beragam menjadi termarjinalkan. Indikasinya pada pemberontakan yang terjadi berkali – kali mulai awal kemerdekaan hingga sekarang. Apakah ini cermin dari ketidakpuasan mereka atau memang sebagai bukti bahwa nation building kita yang masih tipis? Pak Harto pun tidak jauh berbeda, meski dengan style kepemimpinan yang kalem, namun tangan besi. Proposionalnya Nasionalisme menjadi barang langka (kalau tidak mau disebut tabu), justru dijadikan alat untuk represif, otoriter, bahkan lebih radikal dari sebelumnya. Kembali, kelompok yang termarjinalkan melakukan perlawanan, mungkin pemerintah menganggapnya subveresif, komunis, dan sebagainya, tapi jika digali lebih dalam, mungkin juga itulah perlawanan yang bisa dilakukan mereka kepada rejim eyang. Ini diafirmasi oleh T.H. Sumartana, pengamat politik asal Jogja, “sebenarnya apa yang dilakukan oleh gerakan separatis ialah bentuk protes pada pemerintah. Pemerintah seharusnya mengakomodir hal ini, bukan malah menghantamnya secara membabi buta. Sehingga nasionalis disini menjadi perspektif yang negatif, menjadi dalih kepentingan pemerintah, tidak boleh dikritik bahkan diumpat. Sungguh lucu bukan? Wong ini buatan manusia sendiri.”
Revitalisasi dan Reorientasi Nasionalisme
Segi positif nasionalis sebagai konstruk dari manusia ialah terbentuknya kontrak sosial, dimana masyarakat didalamnya mampu bersama – sama membangun kehidupan yang lebih baik. Karena itu, dibutuhkan waktu dan ruang yang tidak sederhana dalam mengkonstruknya kembali. Jika kondisi nasionalisme kebangsaan masih seperti ini, atau apalah namanya, masih butuh perawatan dan yang jeli, teliti dan cerdas, sehingga nasionalisme yang sakit ini tidak semakin akut.
Juga dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh elemen di Indonesia ini. Supaya potret – potret buram masa lalu tidak kembali lagi. Jika upaya itu dilakukan, maka seluruh suku bangsa, agama, dan ras akan dapat bersatu dalam komuitas imajiner ini, sehingga kata – kata Marx yang menganggap bahwa negara merupakan pelayan suatu klas atau kelompok saja tidak terbukti disini, di Bumi Pertiwi ini. Tabik.[]
Catatan Akhir
[i] Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni. 1999; hal.89.
[ii] ibid. hal 91-93
[iii] ibid. hal 97
[iv] Materialisme Historis sendiri ialah suatu pandangan bahwa segala sesuatu kegiatan manusia pada hisotrisnya merupakan tindakan – tindakan materialis (bersifat material, seperti produksi dan konsumsi). Baca lebih lanjut di karya – karya Marx seperti Comunism Manifest, Das Capital, dll.
[v] Majalah TEGALBOTO, 2001;hal.14.
[vi] Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni. 1999; hal 115 – 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar