Melampaui Memori Kolektif tentang Kuasa: Makan Kelaminmu





(Tinjauan singkat atas performance-art Fen-Ma Liuming’s Lunch (1994) oleh Ma Liuming)





Sebuah pemaknaan baru atas kelamin: makan siang. Adalah perlawanan pada otoritarianisme, pada rejim kuasa, yang terlembaga dan yang menyebar. Saya tak pernah membayangkan seniman lain beraksi atau memproduksi karya sedalam struktur instingtif tersebut. bagaimana kelamin –alat reproduksi, alat pembuangan kotoran, sekaligus alat pemujaan pada ritual-ritual—menjadi menu utama makan siang.

Cina, yang kita tahu bersama sebagai negara dengan power raksasa ‘memberikan ijin’ tampilnya Ma Liuming, dengan perlawanan sedahsyat itu. Hei, apa lagi perlawanan yang begitu tajam, yaitu pemujaan-pada-yang-purba? Sekaligus menggunakannya sebagai perangkat untuk melawan aparatus negara? Juga yang begitu maskulin? Makanlah.

Ma Liuming dengan elegan menampilkannya. Ada mata nanar menatap kejauhan, seolah menolak segala jenis kejijikan (ini ditunjukkan dengan tetap ‘memakan’ kelaminnya). Sepotong daging matang siap makan dibiarkannya tenang di meja. Sama sekali tidak disentuh. Karya ini –Lunch– adalah sebentuk perlawanan ‘purba’pada kuasa yang juga purba. Namun apa yang dilawan terus-menerus berhasil memanipulasi dirinya, menjadi modern, oleh karenanya rasional.

Lunch adalah demonstrasi tubuh yang subversif. Tubuh yang melampaui memori kolektif tentang ketenteraman, tentang stabilitas norma-norma, tentang kenormalan-awam: tentang kuasa. Ditambah pada kealpaan (kalau bukan penolakan) pada daging goreng garing di hadapannya tersebut, melebarkan perlawanannya pada subyek lain yang berkuasa: teknologi.

Pada titik ini, saya teringat salah satu petikan dari esai F. Budi Hardiman, Massa dan Teror (2001), “keberanian apa yang lebih hebat selain perlawanan pada yang maha kuasa?”[]

Perlawanan pada Wabah: Perlawanan pada Penjajah




(Aku tulis ‘surat’ ini di tahun itu)*

untuk Tarrou:

hei Sahabat, lihatlah laut itu yang kita selami saat petang itu.

-Rieux-










Oran, dalam Minotaur[i] digambarkan dengan buram, maklum ia baru pulang menjelajah kota-kota di dataran Eropa. Ada tembok batu yang menjalar memanjang di sepanjang perbatasan. Pelabuhan yang sepi, dengan beberapa kapal yang terlanjur merapat. Pos-pos penjagaan diperketat: dua orang bergantian mengawasi selama 12 jam penuh, kemudian diganti dua orang lain 12 jam berikutnya. Begitu seterusnya.



Di dalam kota, trem-trem menyemburkan bau busuk. Orang-orang berlarian disamping dan belakang, mencoba menjangkau lajunya. Jika sempat mendekat, mereka melemparkan bunga. Nahasnya, hanya trem itulah sisa masa lalu, tidak ada mobil lalu-lalang, juga tidak ada hewan peliharaan. Di jalanan bahkan gang sempit.



Angka-angka yang dikeluarkan pemerintah kota menunjukkan kepedihan. Berbulan setelah meluas, keluarga yang ditinggalkan makin meluas. Utara, selatan, barat, dan timur kota, rata. Menggunakan oven tua raksasa, pembakaran mayat mulai dilakukan sejak tanah pekuburan tidak mampu lagi menampung mayat yang tiap harinya bertambah.



Sejak sampar menyerang, kota memang ditutup, sedikit yang datang atau keluar. Yang datang hanya bantuan logistik dari udara, dan kematian. Sedangkan yang keluar hanya kabar, telegram, dan kematian.



Sedangkan laut yang pernah kita selami itu -setelah sebelumnya kita datangi seorang pasien yang loteng rumah sempat kita pakai untuk meresmikan persahabatan kita- tetap sama. Tidak ada yang berubah. Mungkin hanya ombaknya, yang tampak bertambah kuat.



Tadi aku bertemu Rambert, wartawan dari Perancis itu. Beberapa bulan ia mempertahankan kegigihan hatinya untuk keluar dari kota ini. Berkat bantuan Cottard yang memperkenalkannya dengan dua orang keturunan Spanyol, ia nyaris berhasil menyelinap ke luar kota. Lalu di suatu malam saat kau berinisiatif untuk membentuk tim sukarelawan medis demi membantu dokter sepertiku, ia berdamai pada dirinya sendiri. Ia ‘memilih’ untuk jadi warga kota Oran, sepertiku, sepertimu, dan seperti Cottard juga.



Nampaknya ada satu orang lagi yang harus tampil disini, Pastur Paneloux. Aku ingat kata-katanya, mengenai cinta Ilahi yang sukar, yang dapat berupa kehidupan yang sejahtera, juga sampar ini. Tentu saja aku sangsi, secara ilmiahpun itu tidak memadai. Seperti munculnya ribuan tikus yang mati di jalanan, datang menjemput wabah, lalu mengetok pintu-pintu rumah, dan pintu manapun.



Ketiga orang diatas, setelah sampar selesai, hanya Cottard yang mati. Ia mendadak gila![ii] Menembaki orang-orang dan polisi. Bahkan anjing yang tidak sengaja terlihat dari kaca ruangan apartemennya. Bukankah kepahlawanan seperti ujarmu, selalu hampir saja diraih? Dan Cottard belumlah pantas jika disebut antagonis dalam cerita yang baru saja berlalu ini.



Santoisasi terus berlangsung. Wabah makin kokoh menduduki kota, serupa penjajahan, yang merampas hak milik kita atas tanah, rumah-rumah, atas harta-benda, dan sialnya atas hak untuk hidup kita sendiri. Meskipun belum ada yang memilih untuk bunuh diri, namun mata penduduk jelas menyiratkan kesuraman yang teramat susah dipahami. Tapi pastur itu masih saja mengatakan bahwa itu cinta Ilahi. Sungguh, dengan segala kerendahan hati dan hormat, pandangan dunia yang ilmiah akan mementahkannya.



Sebelum ini, kita hanya percaya pada renyah dan romantisnya hidup. Ada sedih, ada riang. Ada kegagalan, ada keberhasilan. Ada pedih, dan tentu saja ada harapan. Tapi sesekali kita juga harus mafhum, bahwa harapan bisa saja terlepas seutuhnya -serta bahwa itu semua cuma bualan-. Porak-porandanya struktur biner tersebut menjadi bukti sahih bahwa wabah yang berkepanjangan hanya meninggalkan satu pesan: kebingungan.



Ya, waktu istriku pergi berobat ke gunung, sebulan, dua bulan, sampai di masa-masa akhir perang dengan wabah ini, aku tak pernah menyangka kalau aku bahkan sejenak saja pernah merindukannya. Nyatanya ia meninggal terlebih dahulu di sana. Seperti Rambert yang bingung saat mengalami puncak kerinduan pada perempuannya di Perancis, lantas bergumam: jika nanti bertemu, siapakah yang asing, dia yang datang atau dia yang menunggu?



“Bukankah hidup dalam situasi ‘seperti ini’ hanyalah membutuhkan pengetahuan dan kenangan?”[iii]



Aku ulangi, kaum terjajah wabah seperti kita dan warga kota tidaklah terlalu buruk jika dibandingkan saat pastur Paneloux -dalam khotbahnya yang ramai- mengatakan, “wabah ini pantas diberikan pada kita,”[iv] bagaimana mungkin?



Aku jelas mengingatmu, yang memberikan segenap daya-upaya untuk menghambat gerak wabah. Saat kita sudah sama-sama lelah di bulan Desember, tiba-tiba pastur meninggal. Ia juga terjangkit wabah. Padahal sebelumnya, ia sempat berkhotbah lagi, meski tidak seramai yang pertama.



Pastur menyatakan dengan terang, bahwa dialog antar dirinya dengan seorang dokter -aku- musti dilaksanakan demi mencari jalan keluar bagaimana wabah ini harus dihadapi.[v] Oh, begitupun kau jelas mencatat ternyata kasih Tuhan saja tak cukup. Perlawanan harus dihadapi dari kenyataan. Demikian juga dengan ketidakmemadaian serum yang baru saja ditemukan.



Aura ‘kepahlawanan’ yang memancar dari gerakmu, membuatku semakin merasa lelah. Aku menyadarinya saat kau jatuh dan menunjukkan dua gejala sekaligus dari wabah ini.[vi] Aku dan ibuku yang bergantian menjagamu, melihat kau bertahan dalam diam menghadapi sakit di tubuhmu sejak malam sampai siang. Tiba-tiba aku ingat segala jenis percobaan dan upayaku berkeliling serta mendiagnosis wabah ini. Dan itu sungguh-sungguh membuatku lelah.



Apa yang kita lakukan tak pernah memberikan hasil, korban terus berjatuhan. Grafik dalam statistik terus saja mencatat kenaikan korban jiwa. Siapapun! Meski telah memakai pelindung yang diberikan oleh pemerintah kota. Meski telah memakai suntikan yang baru aku pesan dari pusat kesehatan di luar kota. Meski telah menyimpan kegelisahannya sendiri. Meski…



Kaupun demikian, yang memulai pertama kali membentuk sukarelawan penanggulangan korban wabah…



Setidaknya saat kau kalah dalam pertempuran tersebut, kehilangan nyawa, aku membuktikan sendiri bahwa tidak ada orang suci di kota-yang-terkena-wabah. Tentu saja juga tidak ada pahlawan. Tapi setidaknya aku juga membuktikan kata-katamu, yang membuat aku harus menulis surat ini untuk dibaca warga kota: kalaupun kita harus bertempur, aku akan berdiri di samping korban, yang artinya aku tidak akan pernah mendukung wabah.[vii] Dan bagaimanapun, kau adalah salah satu yang bertahan paling akhir, walau tak pernah sampai 25 Januari.[viii]












Catatan Kecil:

* Sebuah upaya untuk meresensi novel Sampar, ditulis oleh Albert Camus, diterjemahkan oleh Nh. Dini.

[i] Albert Camus dalam salah satu esainya, Minotaur, (kumpulan esai Summer) menerangkan dengan gamblang Kota Oran yang sedang berada di persimpangan hasrat. Termasuk segala pernak-pernik, aktualitas-semu, dan nafas kota yang sedang terengah-engah. Seperti yang ditunjukkan lewat deskripsi mendetail mengenai bagaimana sebagian warga kotanya begitu menggemari dansa, sekaligus tersiksa denga nilai-nilai ‘estetis’ di yang mengitari aktivitas tersebut. Saat para pertandingan tinju bawah-tanah ternyata tidak lagi menjadi pertarungan dua orang petinju, melainkan menjadi medan paripurna bagi hasrat-hasrat yang tidak pernah tuntas dipertontonkan di permukaan-tanah. Lebih-lebih, di awal esai tersebut Camus mengaku kota-kota di Eropa tidak semenarik Oran.


[ii] Kejadian yang menjadi poin penting bagi sisi-gelap perlawanan terhadap wabah: saat wabah selesai, Cottard kehilangan pekerjaannya yaitu menyelundupkan warga yang ingin lari dari kota dan memperdagangkan barang-barang dari luar dengan harga tinggi di dalam kota.


[iii] Kata-kata ini disimpulkan oleh Rieux ketika selesai bercakap dan membaca catatan Tarrou.


[iv] Khotbah Pastur Paneloux yang pertama, di awal-awal wabah sampar menjangkit Oran.


[v] Khotbah Pastur Paneloux kedua, wabah mencapai puncaknya.


[vi] Pada umumnya para korban wabah Sampar, seperti yang ditulis Camus hanya menderita satu gejala, sampar paru-paru atau bengkak di sekujur tubuh.


[vii] Tarrou, dalam catatan dan dalam suatu pembicaraan dengan Rieux.


[viii] Tanggal itulah pemerintah kota menyatakan meredanya wabah Sampar. Dimana listrik mulai dinyalakan dengan semestinya, perbatasan kota mulai dibuka. Kereta dan kapal laut mulai keluar-masuk. Semuanya ‘mengembalikan Oran seperti semula’.