Cerita Cinta Manusia;


: Pertaruhan di Tengah-Tengah Realitas Destruktif Pasca-Psikonalisa


Tinjauan atas Buku:
Judul : Cinta dan Peradaban (Judul asli Eros and Civilization)
Penulis : Herbert Marcuse
Penerjemah : Imam Baehaqie
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun terbit : 2004 (Cetakan asli 1970)
Spesifikasi : xxxiii + 357 Halaman (11 Bab dan Epilog)





Diantara sedikit literatur yang pernah saya baca, mungkin inilah teks kedua yang paling menarik perhatian saya (setelah Manifesto of Communist Party Karl Marx, 1888). Ketertarikan saya pertama kali adalah saat membaca judulnya, Cinta dan Peradaban, seolah memancarkan tema yang ‘sangat penting’. Sebelum membaca isinya, saya membayangkan akan membaca cerita ‘cinta-cintaan’ dengan landasan kritis. Karena seperti yang kita sudah tahu, Herbert Marcuse sendiri adalah salah satu pendiri dari Mazhab kritis Frankfurt. Wah sungguh unik tentunya.

Buku ini dibuka dengan bab pengantar yang mengagetkan saya, karena jika kebanyakan buku biasanya hanya ada kata ‘Pengantar’ atau ‘Pendahuluan’, namun di buku ini ada tambahan kata Politis, sehingga menjadi ‘Pengantar Politis’. Muatan politis yang disadari sejak awal oleh Marcuse memang sejalan dengan kisahnya sebagai salah satu intelektual yang mendorong new-left movement pasca-Perang Dunia II. Salah satu gerakan politis yang melibatkan kaum-muda transnasional paling tersohor sampai sekarang. Gerakan yang sampai sekarang mungkin tidak muncul lagi, karena kapitalisme-liberal sudah menang. ‘The End of History…and The Last Man’ Ujar Fukuyama.


Prinsip Realitas dan Masyarakat Barbarian

Satu konsepsi yang bisa dikatakan melatari tesis Marcuse mengenai cinta dan peradaban adalah apa yang dia sebut sebagai ‘prinsip realitas’. Sejauh yang saya bisa katakan dari pembacaan saya atas buku ini, prinsip realitas adalah semacam pengembangan terjauh kemanusiaan yang bisa dijangkau menurut kemampuan manusia sendiri. Kombinasi dari individualisasi dan sosialisasi. Kaitan dan ikatan yang harmonis antara eksternalisasi dari nilai-nilai biologis serta internalisasi nilai-nilai sosial.

Kalau boleh saya sederhanakan. Jika ada semacam prinsip mengenai bagaimana kita akan hidup di dunia ini, dengan sekuat tenaga untuk memperbesar kesempatan hidup dengan menghadapi tantangan-tantangannya, maka itulah prinsip realitas. Namun sebelum sampai sana Marcuse mengingatkan kita bahwa, “Gagasan tentang Prinsip Realitas ini didasarkan pada asumsi bahwa prasyarat material (teknis) bagi pengembangan Prinsip Realitas telah tersedia ataupun dapat disediakan dalam masyarakat maju dewasa ini.” Syarat material ini beragam dan sebagian besar diantaranya benar-benar material, seperti tentu saja kemakmuran dan hal-hal yang kasat mata lainnya. Sebagian kecil lagi lebih intangible karena merupakan sebuah prakondisi macam kesadaran, kebahagiaan, dll.

Namun apa yang terjadi? Kita semua telah banyak melihat, mendengar dan merasakan bahwa dunia yang bebas dan kemajuan perangkat teknologi malah memutarbalikkan kemanusiaan hingga ke titik nadir. Marcuse mencontohkan dengan berderet segala macam kamp konsentrasi, pembunuhan massal, perang dunia, dan bom atom yang kemudian disingkat sebagai ‘kelahiran kembali barbarisme’. Dan sesaat setelah itu, Marcuse melanjutkan, “Dan penaklukan serta penghancuran manusia oleh manusia lain yang paing efektif, ironisnya, justru terjadi di puncak peradaban manusia, ketika capaian teknologi dan intelektual manusia nampaknya telah memungkinkan bagi pembangunan dunia yang benar-benar bebas.”

Apa yang menyebabkan serangkaian hal tersebut terjadi? Dengan tegas Freud sejak dahulu mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah penindasan manusia. Kebudayaan merepresi eksistensi sosial dan biologis manusia, bagian manusiawi dan instingtifnya. Memang merepresi aspek-aspek tersebut maka langkah peradaban akan tetap dapat bergerak, bertahan. Insting manusia jika dibiarkan sebebasnya maka akan sangat berpotensi untuk menghancurkan semuanya. Karena insting tersebut mempunyai tuntutan yang tidak pernah cukup sebagai tujuan dirinya sendiri, setiap waktu. Oleh karena itu maka kebudayaan layak untuk merepresi serangkaian insting tersebut, pada tingkatan tertentu, atau menghalang-halanginya untuk mencapai kepuasan yang tidak pernah habis. Menanggalkan manusia dari kebinatangannya. Inilah yang sejak dahulu Freud katakan sebagai peralihan dari prinsip kesenangan menuju prinsip realitas, pembelahan dua dimensi kehidupan manusia, yang sebagian besar membedakan antara kesadaran dengan ketidaksadaran.

Pengingkaran (represi dua ambivalensi manusiawi) ini kemudian berhadapan dengan kontradiksi internal di dalam diri individu-individu. Kebudayaan tidak pernah bisa membuat prinsip realitas menjadi lengkap dan utuh dan tidak bisa mematikan prinsip kesenangan seluruhnya. Prinsip kesenangan kemudian mengendalikan alam tak sadar manusia, yang otomatis sedikit demi sedikit mempengaruhi realitas di sekelilingnya.

Contoh kasar, taruhlah anda sejak awal benci dengan seorang pemimpin entah karena apapun (suatu prinsip kesenangan), namun anda menahan untuk melakukan tindakan karena aspek kebudayaan karena sistem demokrasi (aspek kebudayaan) merepresi kebencian anda serta menanggalkannya dengan adanya pemilihan umum setiap lima tahun. Namun di tingkatan tertentu, saat beberapa kali pemilu ternyata keadaan di sekitar anda masih sama saja, kebencian yang tertanan hingga dunia bawah sadar anda mau tidak mau akan muncul. Bentuk-bentuk seperti diskusi, demonstrasi sampai revolusi anti-pemerintahan adalah salah satu bentuk munculnya kembali sisi yang telah lama terpendam.

Marcuse dalam buku ini menyebutnya sebagai ‘kembalinya yang direpresi’. Kembalinya yang direpresi ini menghasilkan sejarah yang ditabukan dan bersifat bawah tanah. Oleh karena itu kemudian, dengan menyandarkan pada aspek tersebut, psikoanalisis individunya Freud juga berbentuk psikologi sosial. Penindasan adalah suatu fenomena historis. Pengingkaran yang efektif seperti dicontohkan sebelumnya, bukanlah instrumen alamiah namun digunakan oleh manusia itu sendiri, dalam selang waktu tertentu.


Kaitan Ontologisnya, Kemudian…

Sejak awal, Freud berusaha untuk menunjukkan bahwa Eros telah menciptakan kebudayaan dalam perjuangannya untuk melawan insting kematian. Namun yang terjadi sebaliknya. Kebudayaan yang mapan malah melahirkan destruktifitas, menyatakan kehancuran yang diarahkan pada pemberontakan terhadap satu hal, yaitu represi. Pemberontakan dan kehancuran ini selain menghancurkan, juga menandakan pentingnya sifat historis, batas validitas, dan nilai dari prinsip realitas.

Rasionalisme Cartesian mengawali masuknya peradaban manusia pada rasionalitas modern-ilmiah. Rasionalitas yang menuntun subyek agar mampu menjalankan transformasi rasional atas lingkungan dan manusia lainnya. Transformasi ini kemudian dilakukan paling banyak pada kemampuan individu yang lebih rendah: kemampuan panca indera dan selera. Terlihat bagaimana ketetapan represif masih terjaga.

Rasionalitas terus berjalan. Hegel kemudian mengukuhkan petualangan intelektual rasionalitas pada titik terbesarnya yaitu dengan menunjukkan validitas kategori dan prinsip pengaturan dunia yang absolut. Dan masih tetap sama saja, kesimpulannya adalah kepenuhan dan orisinalitas manusia sama dengan gagasan dan pengetahuan yang absolut. Ini pula yang menghasilkan pembenaran alienasi dan secara ambivalen ditolak dalam akal-budi universal. Perbedaannya hanya pada konkretisasi landasan historis filsafat dimana bangunan besar akal-budi dibangun. Dalam konteks perspektif ini, dunia mengalami titik nadir perjuangan Eros.

Lalu muncul lah Nietzsche yang mendobrak tradisi ontologis tersebut. Dengan kehendak-untuk-berkuasa dia membalik terma represif pada masa itu yang menjadikan represi dan pemiskinan sebagai kekuatan yang berkuasa serta agresif untuk mengatur eksistensi manusia. Digaris ini Nietzsche membuka berbagai kekeliruan pemikiran yang dibangun oleh filsafat dan moralitas Barat sejak Descartes, yaitu transformasi fakta empiris menjadi esensi dan kondisi historis menjadi asumsi metafisis. Kelemahan dan kesedihan manusia dipahat menjadi kejahatan dan rasa bersalah yang transenden, pemberontakan menjadi dosa asal, dan seterusnya. Nietzsche melampaui seluruh filsafat rasionalitas karena dia berbicara ‘mewakili’ prinsip realitas yang secara ontologis menentang prinsip peradaban Barat. Dalam barisan inilah kita juga menemukan Freud, metapsikoanalisisnya yang menutupi segala spekulasi metafisis dengan rasionalitas Eros. Namun itu hanya sesaat saja.


Peradaban Manusia diantara Pertentangan Psikoanalisis

Psikoanalisis sendiri, secara sinkronis maupun diakronis mengalami pertentangan di dalam tubuhnya sendiri ketika menganalisis kontradiksi manusia tersebut. Pertentangan ini memuncak ketika era liberal digadang-gadang akan membebaskan manusia ambruk, munculnya Perang Dunia, kembalinya yang otoritarian, serta runtuhnya upaya-upaya yang menangkal kecenderungan tersebut. Psikoanalisis kemudian meradikalkan cara kritik (utamanya kritik psikologis) terhadap sebagian capaian modern yaitu pada individu.

Dekade terus berganti, Eropa Timur dan Tengah menjalani masa-masa revolusionernya. Psikoanalisis-awal, yang memang sejak semula tidak berniat untuk ‘merubah’ mendapat banyak kecaman. Bahkan psikonalisis-awal dianggap hanya sebagai reaksi singkat. Freudian terkesan menganggap cita-cita sosialisme humanitarian tidak dapat dicapai dengan manusiawi. Akhirnya momentum tersebut muncul. Menurut Marcuse, Psikoanalisis terpecah menjadi sayap kiri dan kanan.

Sayap kiri mengonsentrasikan wilayah kajiannya pada hubungan antara struktur sosial dan struktur instingtif, yang nampaknya bersifat sirkular. Dimana represi seksual (instingtif) didorong dan dieksploitasi oleh kepentingan dominasi (struktur sosial). Di waktu lainnya, kepentingan-kepentingan dominasi dan eksploitasi didoroang dan diproduksi lagi oleh represi sosial. Sedangkan implikasi destruktif represi seksual sebagai dinamika historis tidak ditinjau secara kritis oleh sayap kiri ini. Serangkaian tesis tersebut akhirnya menghasilkan pembebasan seksual sebagai solusi bagi penyakit individu dan sosial. Akibatnya, inspirasi sosiologis yang menjadi poin penting menjadi tidak terkaji secara luas, malah memperluas kembali primitivisme.

Sisi seberangnya, sayap kanan mendapatkan juru bicara yaitu Carl G. Jung. Secara garis besar sayap ini membicarakan tentang aliran-aliran pemikiran interpersonal dan kultural. Yang banyak menjadi pandangan umum psikoanalisis dewasa ini. Lalu dengan mengutarakan tesis tersebut, sayap ini perlahan merubah teori psikoanalitik menjadi serupa ideologi. Manusia dicerabut dari personalitas keutuhannya. Capaian-capaian peradaban Barat yang selalu saja mengandaikan serta melestarikan ketidakbebasan dan penindasan juga menjadi solusi untuk menekan struktur instingtif manusia (mengambil cara Freud melihat dinamika historis peradaban sebagai sebuah tujuan!). Hal inilah yang kemudian menjadikan psikoanalisis-awal dan kedua aliran neo-revisionisnya menjadi bertentangan. Pertentangan antara filsafat psikoanalisis dan praktek terapis psikoanalisis. Ontologi dan metodologinya.


Perjuangan Cinta Manusia, Sebuah Perjuangan Tanpa-Akhir

Ketakutan saya saat meresensi atau mengulas sebuah literatur adalah ketidakmampuan saya untuk: merangkum seluruh poin penting, menghindarkan distorsi substantif yang terlalu besar (karena untuk sepenuhnya menghindarkan distorsi rasanya ya kok tidak mungkin), dan tidak terlalu menyederhanakan atau mereduksinya pada tingkatan tertentu. Kesemuanya bermuara pada kesalahpahaman terhadap buku ini. Oleh karena itu di paragraf berikutnya saya akan mencoba mengaitkannya dengan subyektifitas saya atas pecahan-pecahan esensi buku ini.

Marcuse dengan gamblang menjelaskan bahwa keseluruhan isi buku ini merupakan semacam ‘rekam jejak’ perjuangan manusia demi Cinta melawan kematian. Dan peradabanlah tempat perjuangan tersebut. Cinta disini (dan sudah selayaknya untuk selanjutnya) kemudian tidak dimungkinkan untuk dipahami sebagai cinta muda-mudi yang dangkal, remeh-temeh, dan personal seperti yang mungkin kita sering jalani beberapa saat belakangan. Cinta menurut Marcuse adalah oposisi bagi segala sesuatu yang bersifat destruktif, atau lebih jauh lagi berlawanan dengan peradaban yang mematikan. Namun bukan kematian itu sendiri. Peradaban yang mematikan mengendalikan banyak sekali perangkat untuk terus memperpanjang umur manusia. Manusia berjuang untuk mendapatkannya. Manusia berjuang demi Cinta untuk memperpanjang jalan menuju kematian. Dengan terus membangun harmonisasi antara insting dan alam.

Perjuangan ini secara alamiah menuntut kita sebagai kaum muda untuk berada di garis depan. Baru kaum intelektual. Sistem yang berkuasa sekarang terus memelihara struktur yang destruktif bagi kemanusiaan. Pengorganisasian sistem tersebut harus dilawan dengan pengorganisasian tandingan. Kaum-muda sejatinya harus menyadari bahwa ini adalah pertaruhan hidup, bernafaskan perjuangan demi eros dan merupakan perjuangan politis. Segala macam diskusi, demonstrasi, dan bahkan revolusi tidak akan pernah berhenti selama sistem tersebut tetap berkuasa. Karena kembali lagi, perjuangan ini adalah perjuangan biologis bermuatan politis. Karena hidup kitalah (kaum-muda) yang dipertaruhkan. Dan kalaupun kita masih bisa hidup, maka kesehatan mental dan kapasitas kita sebagai individu yang utuh yang akan dicerabut dan dibunuh. Akhir kata, sadarlah kaum-muda! []

2 komentar: