Saya tidak pernah, dan semoga saja tidak akan pernah, melihat hantu. Tapi semua yang mengaku pernah melihat, yakin kalau hantu itu ada. Tentu karena mereka pernah melihatnya. Dalam posisi ini saya yakin kalau hantu itu tidak ada, karena saya tidak pernah melihatnya. Sekaligus saya tidak yakin kalau hantu tidak ada, karena ada orang yang pernah melihatnya.
Anda tentu paham hantu yang saya maksud. Hantu yang sering muncul di TV dengan sosok yang menyeramkan. Sekalipun yang ditampilkan TV itu belum tentu benar, setidaknya tayangan tersebut memunculkan proyeksi akan tampilan hantu.
Berbincang hantu tentu menarik. Anda dapat membayangkan apapun yang anda suka dan menganggapnya sebagai hantu. Bukan karena ia tidak ada, ia ada di dalam pikiran anda, tapi ia tidak dapat kita jerat lalu hadirkan ke teman anda. Tapi itu bukanlah hal yang penting atawa menarik. Yang menarik adalah kita kadang membicarakannya, bukan?
*****
Kita mungkin berpikiran bahwa Copernicus harus terbang seperti elang. Ia harus menyapu pandangan di bawahnya saat akan merumuskan model heliosentris. Ia melampaui Ptolomeus, astronom sekaligus perumus model geosentris. Tapi ia tidak pernah melakukannya, bahkan ia tidak perlu menjadi elang. Karena selayaknya kita semua, ia memiliki imajinasi.
Satu-satunya problem Ptolomeus mungkin sama seperti yang dialami oleh Hume, yakni hanya berkutat pada pencerapan inderawi. Sedang Copernicus lebih menyerupai Kant, yang ‘melompati’ pencerapan tersebut, lalu memainkan imajinasinya untuk membangun deduksi matematis mengenai tata-surya. Atau lebih tepatnya, tata-semesta.
Ringkasnya, yang dilakukan Copernicus seperti ini: ia menanggalkan apa yang tampak dari bumi. Karena ia tahu bahwa ia adalah sang pengamat. Ia sadar kalau apa-apa yang-tampak adalah titik berangkat, sama sekali bukan kesimpulan. Setelah itu, dengan gerak imajinatif (dan intuitif) ia mampu mengaitkan parameter-parameter elementer astronomis (jarak, lintang, bujur). Sekumpulan hipotesis yang sempat amat meresahkan otoritas agama waktu itu.
Deduksi matematis itu pula yang mampu menjawab satu masalah yang tertinggal dari model geosentris Ptolomean. Ia tidak memadai dalam menjelaskan ukuran gerak antar planet tanpa postulat tambahan. Sedang dalam model Copernican, gerak tersebut merupakan konsekuensi lazim dari sistem yang terpusat pada bintang, atau yang kita kenal sebagai matahari.
Nah, inilah titik berangkat saya untuk membahas hantu itu.
*****
Model Copernican, meskipun mempunyai presisi tinggi dalam menjelaskan sistem tata-surya (-semesta), memberikan peluang imajinasi dalam menganalisis obyek-obyek fisik. Tentu saja, pada tahun ia lahir, 1473, atau bahkan saat ia meninggal pun, 1543, tak ada pesawat ulang-alik yang mampu keluar dari atmosfir bumi. Lalu bagaimana bisa Copernicus mengatakan bahwa bukan bumi yang menjadi pusat tata-surya? Sedang dengan mata-kepala sendiri, setiap manusia di bumi melihat seluruh obyek langit berputar mengitari bumi?
Jawabannya sudah saya sebut di atas: imajinasi. Copernicus sadar bahwa pencerapan inderawi manusia memiliki keterbatasan, lebih-lebih untuk melihat ‘keseluruhan’. Ia memberikan warna baru bagi astronomi (kemudian seluruh lini sains-eksak seperti fisika dan matematika), yaitu masuknya sentuhan antroposentris dalam cakrawala keilmuan. Copernicus bukan melahirkan obyektivitas, melainkan justru subyektivitas positif dalam dunia sains.
Peluang imajinasi ini lalu disambut dengan gegap gempita. Tumbuh-mekarnya wacana Teori Segala Sesuatu (Theory of Everything, TOE), yang ditopang oleh hadirnya teori relativitas umum, menolak penetapan dimensi hanya pada yang bisa ‘dialami’ oleh manusia, yaitu 4 dimensi (atau biasa disebut ‘matra’). Maka dapat dimengerti bagaimana teori relativitas umum berkembang pesat menjadi paradigma. Ia tidak lagi hanya mendapat kekuatan dari lingkaran ilmuwan sendiri, (atau seperti yang dikatakan oleh Popper sebagai ‘conventionalist stratagem’, suatu kesepakatan para ilmuwan untuk menopang sebuah teori atau paradigma). Akan tetapi juga karena teori ini (saya lebih sepakat menyebutnya sebagai paradigma) memberikan daya dorong yang besar bagi kemajuan fisika, astronomi, atau kosmologi dalam arti luas.
Sekadar mengingatkan, munculnya penopang TOE tadi, yaitu teori relativitas umum, juga didasari kekesalan Einstein. Ia kesal karena tidak adanya ruang bagi imaji manusia dalam mengatasi pengalamannya di dalam fisika, atau sains positivis waktu itu. Sekalipun saat ia menggagas teori relativitas khusus 11 tahun sebelumnya, Einstein masih dibawah pengaruh positivisme-kritis Ernst Mach. Mach yang dikenal sebagai tulang-punggung Lingkaran Wina, dengan ketat membatasi sains pada gejala-gejala inderawi.
Namun teori relativitas umum menyadarkan Einstein. Bahwa gejala inderawi tersebut, lagi-lagi, hanya titik tolak. Sains lebih luas ketimbang sekadar mendeskripsikan. Sains memiliki tujuan konstruktif dan intuitif. Kekesalan tersebut bahkan ia tegaskan lewat kutipannya yang cukup termasyhur, “… Para positivis ekstrem berpikir dapat bekerja tanpa tanpa pengandaian, bagi saya ini tampak seperti ilusi, kecuali mereka bersedia menyangkal pikiran.”
Penolakan itu tersirat lewat lomba yang dimotori oleh ilmuwan fisika partikel dalam perang konseptual mengenai bagaimanakah awal-mula alam semesta terbentuk. Lomba mengimaji, kira-kira sampai dimanakah jangkauan pengetahuan manusia? Lomba yang ditandai dengan perluasan matra-matra tersebut.
Pelebaran dimensi ini diawali oleh Theodor Kaluza, seorang asal Polandia. Ia yang menambahkan agar matra yang empat itu ditambahkan satu, yaitu elektromagnetis(me). Ia menganggap bahwa gejala-gejala elektromagnetik tidak dapat terdeteksi karena terlipat, dan baru belakangan para ilmuwan mampu mendeteksinya.
Seorang lainnya yang berasal dari Swedia, Oskar Benjamin Klein, kemudian menguatkan hipotesis Kaluza. Klein mengatakan kalau gejala-gejala tersebut tidak dapat dideteksi. Tidak dapat karena tergulung hingga berskala subatom. Bentuknya berupa tabung-tabung halus. Elemen itulah yang ia anggap membangun alam semesta.
Dimensi kelima ini, gejala-gejala elektromagnetik, yang lalu didorong menjadi titimangsa sebuah super-teori. Teori yang sampai hari ini digaungkan sebagai Theory of Everything. Sebuah teori yang mampu menjawab segala macam fenomena.
*****
Bayangkan anda memiliki gitar, dengan senar berjumlah antara 10-35 dan 10-43. Ketika anda memetik keseluruhan senar tersebut secara bersama-sama (seorang pakar fisika, Brian Genee, mengibaratkan gitar raksasa ini sebagai padang rumput yang bergerak serentak karena diterpa angin) maka setiap pola petikannya akan memicu alam semesta bergerak. Gerakan itulah yang membentuk partikel, bumi, bulan, planet, bintang, manusia, dan segalanya. Teori dawai ini bahkan memiliki matra hingga 11, yang kemudian disebut sebagai teori-M.
Sampai saat ini, teori ini masih belum dirumuskan secara utuh. Para pakar yang mengetahui detailnya sepakat bahwa huruf ‘M’ dalam teori-M mengandung banyak arti. Orang awam seperti saya dan anda boleh mengartikannya sendiri. Apakah itu Misteri, Mother, Membran, atau Magis.
Seperti yang saya bahas tadi, teori ini belum selesai, belum final. Tapi setitik analisis yang dilakukan memakai teori ini telah dianggap mampu menjawab pertanyaan berumur ribuan tahun, yang juga saya sebut tadi. Bagaimana awal-mula alam semesta?
Prediksi yang paling populer seperti ini. Alam semesta yang kita mampu deteksi, karena kita terlibat di dalamnya, hanyalah satu dari trilyunan (para pakar menyebut jumlahnya hingga 10500 alam semesta) semesta yang tercecer di sebuah bidang yang maha luas. Lalu kenapa alam semesta ini ada? Jawab teori ini terdengar sederhana: ya karena konsekuensi logis dari ‘senar-senar’ yang bergetar tadi, dari mekanisme kuantum yang memang lazim terjadi.
Penyederhanaan itu tentu saja akan menyebabkan celah yang tak kalah besar. Lebih lagi kalau poin-poin yang selama ini digunakan oleh pengamat astrofisis menyebutkan bahwa lebih dari 72% isi alam semesta adalah energi yang kita, bahkan ilmuwan kaliber internasional pun, tidak ketahui sama sekali. Para ilmuwan itu lalu menamainya dark energy.
Kita juga tahu kalau hukum fisika, yang dalam dunia modern digunakan untuk menganalisis hampir seluruh fenomena alam, tidak mampu melampaui kecepatan cahaya (299.792,458 km/detik). Hukum fisika tergantung sekali dengan sebuah kurir, yakni sinyal. Sedang kecepatan laju sinyal, sekali lagi, tidak pernah melebihi kecepatan cahaya. Konsekuensinya besar sekali. Cahaya yang sampai (anggap saja sampai) ke mata astronom dari galaksi tetangga, Andromeda, adalah cahaya yang telah berumur sekitar 2,5 milyar tahun. Kalau ahli fisika ingin mengamati cahaya Andromeda detik ini, tinggal menunggu 2,5 milyar tahun lagi.
Pertanyaan yang muncul mungkin seperti ini, bagaimana mungkin, dengan segala macam keterbatasan tersebut, kita bisa tahu (menggunakan kata-kata Einstein) 'pikiran Tuhan saat mencipta semesta'?
*****
Mungkin kita juga perlu sedikit menengok ke belakang. Dulu ada teori yang sempat hangat dibicarakan, yaitu teori Big Bang. Tapi dengan cukup cepat teori ini menabrak kendala tersebut. Dengan asumsi kalau ledakan ihwal yang terjadi (dimana kosmos mencapai titik ekstrem, yaitu ruang-waktu hampir nol) terus memuaikan energi. Kondisi gravitasi alam semesta waktu itu menciutkan seluruh partikel energi hingga ke titik sub-atom (10-34 cm), membuat para pakar menabrak semacam tembok. Tembok yang cukup kokoh untuk menihilkan semua teori fisika yang pernah dikenal.
Di titik inilah ‘singularitas’ dalam dunia sains diperkenalkan. Titik dimana semua persamaan matematis mencapai keadaan tidak terdefinisikan. Mungkin disinilah salah satu situasi yang menjadi batas ilmu pengetahuan.
Tapi teori yang nihil bukannya tak berguna. Ada sejenis upaya ‘penyelamatan’ yang dilakukan oleh para teoritisi demi menambal kekurangmemadaian teori tersebut dalam menjawab satu pertanyaan, namun masih mampu menjawab pertanyaan lainnya. Salah satunya sudah saya sebut tadi, yaitu conventionalist stratagem. Sedangkan satu yang lain, adalah yang saya sebut sebagai 'hantu'.
Teori Big Bang, memang tidak mampu menjawab pertanyaan diatas, tapi ia menunjukkan bahwa dirinya mampu menjawab serangkaian pertanyaan lain. Ia juga perlahan menunjukkan konsistensi empiris sekaligus teoritis, sehingga bangunan dasarnya tetap bisa menopang berbagai teori fisika.
Dalam kerangka Kuhnian, beban pengujian empiris tidak langsung menghantam inti (hardcore) dari sebuah teori, atau lebih besar lagi, paradigma. Para ilmuwan yang menyadari hal ini, kemudian memasukkan sebuah terma, yaitu hipotesis bayangan, demi menyelamatkan teori tadi. Hal ini menjadi penting karena 'hantu' inilah pondasi teori-teori fisika modern. Di atas saya menyebut dark energy, dan itulah yang digunakan oleh para ahli untuk menyelamatkan teori ini dari perombakan besar-besaran. Karena di satu sisi, dark energy belum mampu didefinisikan, sedang di sisi lain, apabila ia tidak dimunculkan, maka seluruh bangunan teori Big Bang akan hancur seketika.
Sama seperti yang dilakukan oleh Newton. Ia yang juga sempat bingung menjembatani antara teori dengan observasi mengenai obyek-obyek di dalam sistem tata-surya. Ia menganggap dengan bahwa planet-planet bergerak seiring besaran gaya yang ditimbulkan oleh gravitasi. Sedang observasi empiris yang dilakukan justru menolak hal tersebut. Planet-planet tidak pernah bergeser, apalagi bergerak.
Bagaimana mungkin benda yang terkenai gravitasi tidak bergeser? Newton awalnya menjawab dengan mengatakan kalau benda-benda tersebut terlalu jauh hingga gaya gravitasi tidak mampu menjangkaunya. Namun ia merevisi pandangannya itu dengan menyelipkan laku Tuhan yang ikut bermain. Pada akhirnya, ia 'dihajar' oleh Leibniz, yang berujar kira-kira seperti ini, "Wah, betapa tak sempurnanya sistem yang dibuat oleh Tuhan tuan-tuan ini."
Seiring waktu, Laplace, yang ikut menemukan Lubang Hitam, menyingkirkan asumsi Newton tentang Tuhan tadi. Sekaligus ia menyingkirkan masalah singularitas dalam paradigma Newtonian. "Sejatinya," ujar Laplace yang juga bangsawan pada masa Kekaisaran Perancis Pertama, "Alam sendirilah yang mengoreksi ketika ada terjadi penyimpangan di dalam tubuhnya. Dan itu terjadi secara logis karena merupakan konsekuensi lazim dari hukum-hukum fisika, dimana ia selalu menuju ke arah keseimbangan yang dinamis."
Hal ini logis, bahkan sangat wajar. Terlebih kalau kita ingat determinisme Laplace, yang rumusnya seperti ini. Kalau kita tahu posisi, kecepatan, hukum, dan gaya-gaya yang bekerja pada sembarang partikel di waktu tertentu, maka kita akan tahu kecepatan dan posisi partikel itu di sembarang waktu di masa depan. Ini berguna untuk memecahkan masalah tadi. Karena Laplace yakin kalau alam memiliki daya untuk menyingkirkan penyimpangan yang ada di dalam tubuhnya.
*****
Kembali pada teori-M atau Superstring. Teori ini mampu menggabungkan seluruh gaya fundamental alam dan mendedah segala macam materi di alam semesta. Ini menjadi mungkin karena ia tidak lagi mengikuti, bahkan melompati, pertengkaran para ahli mekanika kuantum mengenai dualisme partikel-gelombang.
Edward Witten, menguatkan hal ini dengan menambahkan bahwa lima dimensi yang telah dibahas di atas tadi hanyalah penjelasan saja dari teori-M. Witten, yang juga profesor Princeton mengatakan, bahwa teori Superstring adalah bangunan teori yang pondasinya telah terbukti ampuh menjawab pertanyaan-pertanyaan fisis (dan metafisis?) di masa lalu.
Masalah yang muncul dari teori Superstring ini cuma satu: ia bukanlah bagian ilmu pengetahuan.
Kenapa? Karena ia belum bisa dibuktikan dengan metode ilmiah. Bagaimanapun besarnya harapan yang dimunculkan oleh teori super ini, ia tetaplah serangkaian hipotesis yang belum diuji. Alih-alih mendapatkan kebenaran prediksinya.
Pada titik inilah aras ilmu yang sangat beragam menjadi sangat antroposentris. Ia seperti tidak peduli kalau alam semesta, yang luasnya saja belum diketahui, menjadi batas dari ilmu pengetahuan yang bahkan sampai hari ini belum mampu menjangkaunya. Sekalipun sains mengijinkan banyak hantu bergentayangan di cakrawala ‘saintifik’, ia tetap sah sebagai ilmu. Sebaik ke-absah-annya sebagai tiang pancang bagi pondasi epistemologis.
Lalu dimana batas sains?
Batas yang dikabarkan secara tersirat adalah manusia itu sendiri. Manusia sebagai pengamat yang selalu tidak puas akan pengetahuan.
Sejatinya, manusia adalah prasyarat metodologis utama. Karena seperti yang telah disebutkan tadi, alam semesta berjumlah trilyunan. Namun cuma ada satu alam semesta yang memungkinkan manusia untuk hidup dan tinggal. Yang bisa dihuni oleh manusia. Manusia itu ya anda, saya, dan seluruh pakar keilmuan tadi. Dan alam semesta ya semesta yang kita diami sekarang ini.
Alam semesta yang gagah ini terkonfigurasi dengan 4 dimensi yang terus berinteraksi. Empat dimensi itu sendiri adalah gravitasi, elektromagnetik, gaya nuklir lemah dan kuat. Konfigurasi itu akan retak sedikit saja apabila satu dari empat dimensi dalam tubuh kosmos itu tidak bekerja sebagaimana mestinya. Keretakan sedikit saja itu, akan menyebabkan seluruh manusia, bahkan makhluk hidup, akan punah.
Hawking pernah membuat ilustrasi mengenai hal tersebut. Ia membuat semacam rekayasa disfungsi dengan mengurangi pemuaian alam dengan faktor 10-12. Dengan hambatan sedemikian itu, maka bumi akan bersuhu sekitar 10.000 derajat. Lantas bagaimana nasib manusia yang jika kamar tidur mencapai 40 derajat saja sudah kepayahan?
Tapi untunglah hal di atas tadi hanya ilustrasi.
Manusia, kemudian menjadi satu-satunya alasan kenapa harus ada pemahaman mengenai hantu, model-model kehidupan fisis, yang lalu menjulur menjadi pencarian pengetahuan mengenai kosmos. Tanpa manusia, mungkin saja penciptaan kosmos menjadi nihil. Karena kemudian, taruhlah alam semesta memang tak berbatas, maka ia menjadi benar-benar tak berbatas.
Sekali lagi, bukan karena ia tak ada, melainkan karena tak ada yang mencoba mencari tahu tentangnya. Singkatnya, tak ada yang membicarakannya.
Katakanlah Tuhan memang ada, lalu Tuhan menciptakan apapun yang Ia suka, tapi apakah itu bermakna? Tentu tidak. Karena tak ada bedanya ia ada atau tidak. Dan penyebabnya cuma ada satu: tak ada manusia.[]
Referensi:
Kalau dibayangkan tulisan ini adalah sate kambing, maka yang jadi daging kambingnya adalah tulisan Karlina Supelli, Orasi Ilmiah: Ciri Antropologis Pengetahuan, Agustus 2010. Sedang bumbu untuk menyiram tusukan daging kambing yang telah dibakar itu adalah campuran dari tulisan Nirwan Ahmad Arsuka, Perang Ilmu, Nostalgia Kosmis, 2002; Karlina Supelli, Sebuah Perang untuk Keterpukauan, 2002; dan Mahdi Murtadha Armahedi Mahzar, Kompleksologi: Ilmu Baru buat Milenium Baru, 2003. Bawang merahnya adalah Google, tentu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar