Dilema Narapidana; Sebuah Pengakuan

Dia yang tidak mau mengorbankan jiwanya untuk menyelamatkan dunia secara kolektif, tidak logis dalam seluruh penyimpulannya.
Karena itulah prinsip sosial secara intrinsik berakar dalam logika.

(Charles S. Peirce)


Jelas teringat dalam benak saya, sebuah cerita lama tentang dua orang perampok yang telah berkawan lama. Suatu ketika kedua perampok tersebut merampok sebuah bank dan tertangkap sebelum sempat menikmati hasil rampokannya tersebut. Di tengah masa tahanannya, seorang komandan polisi memberikan tawaran pada satu per satu perampok tersebut: “Katakan dimana hasil rampokanmu, maka kami akan membebaskanmu tanpa syarat dan segala hukuman kalian nantinya akan ditujukan pada rekanmu.”

Tidak berselang lama setelah mengingat cerita itu. Seorang paruh baya asal Jerman mengingatkan saya pada satu istilah terkenal, “Kembali pada benda itu sendiri.” Orang itu tidak menjelaskan mengapa dia mengatakannya, dia hanya menunjuk pada cangkir kopi saya yang telah habis sembari mengambil sebatang rokok di sebelah cangkir tersebut kemudian menyulutnya.


Saya, Antara (Penjara) Mahasiswa Amatir dan Mahasiswa Akademis
Saya tahu dengan pasti, ketika semester ini memilih untuk menempuh seluruh SKS yang diijinkan, 24 SKS, maka saya akan kehilangan banyak waktu untuk melakukan hal lain. Ya, saya juga sedang berproses di tempat lain, di tempat yang tidak lagi menghitung setiap ilmu yang sedang coba untuk didapatkan dengan SKS. Hitungannya tidak lagi SKS, namun detik demi detik masa kehidupan.

Sejatinya pilihan tersebut juga berasal dari terma mahasiswa akademis yang masih coba saya raih. Ya, sebagian besar teman-teman saya telah menyandangnya. Dengan deretan nilai A dan sedikit B di transkrip perkuliahannya, mereka dapat berjalan dengan tegap dan mantap di koridor kampus. Bercanda dengan teman-teman akrab yang juga mahasiswa akademis, kemudian bertukar lagu lewat bluetooth dan saling memotret. Saya cuma bisa saya bayangkan adalah cerahnya masa depan mereka.

Ada juga sebagian kecil teman saya, sebutlah mahasiswa amatir. Mereka bisa dibilang malas kuliah, seringkali berbincang seputar diri mereka, sambil kemudian tertawa dengan sangat keras. Diri mereka yang bingung ketika sampai di kampus, diri mereka yang khawatir saat banyak orang tidak bisa sampai di kampus, diri mereka yang membaca buku di luar disiplin ilmunya kemudian memperbincangkannya, (tebak saya) dengan maksud untuk menolak buku tersebut dan (ini yang paling sering) diri mereka yang marah lalu mengutuki lingkungannya. Sebenarnya ada juga tipe mahasiswa lainnya, namun perasaan saya pribadi, tipe-tipe tersebut tidak masuk perdebatan yang sedang berkecamuk di otak saya.

Akhirnya semua hal pilihan harus masuk ke dalam cabang konsekuensi. Tentu pilihan ‘A’ mempunyai konsekuensi pada sesuatu, katakanlah ‘F’ yang juga mempunyai konsekuensi pada ‘K’. Ini selalu terjadi beruntun, dan karena argumen saya barusan, saya bisa katakan bahwa tidak ada suatu yang murni kebetulan. Ini yang saya sadari akhir-akhir ini. Ketika saya memilih untuk menempuh 24 SKS misalnya, mau tidak mau saya harus menerima konsekuensi waktu ngopi dan maen PS saya hilang, meski tidak semuanya. Jika waktu ngopi hilang, otomatis waktu saya berinteraksi dengan teman ngopi saya juga hilang, dan aliran informasi serta diskusi yang dilakukan saat ngopi juga hilang, dan seterusnya. Pun demikian sebaliknya, selalu ada konsekuensi yang saya tanggung untuk hal yang saya pilih dan lakukan jika tidak mengambil semua SKS yang tersedia.

Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa saya juga berproses di tempat lain. Proses di tempat tersebut tidak dimaknai dengan nilai, itu yang membuat saya memilihnya. Ini juga yang menyebabkan kenapa saya sampai membuat tulisan ini. Tambahan kata penjara yang saya beri kurung di sub-judul saya maksudkan untuk sejumlah konsekuensi tersebut, namun bukan untuk pencabangannya. Menentukan pilihan berarti memilih penjara mana yang saya ingin tempati, atas segala “kejahatan” saya. Pilihan untuk menjadi mahasiswa amatir atau mahasiswa akademis. Pilihan untuk coba menjawab sebuah pertanyaan, siapa saya?


Tentang Mahasiswa Amatir, Setelah (Penjara) Itu…
Awalnya di sub-judul ini saya ingin sekali melakukan serangkaian kritik pada penyakit mahasiswa. Tentang konsumerisme, pacaranisme, hedonisme, modernisme, teknologiisme, dangkalisasi pemikiran, digitalisasi, dan banyak lagi “patologi” yang selalu menjadi pembicaraan teman-teman mahasiswa amatir di warung kopi. Penyakit-penyakit tidak tampak yang semakin menggerogoti makna paling dasar dari idealisme mahasiswa, yang tidak terasa prosesnya namun dampaknya membuat kita semua dalam jangka panjang “terbunuh.” Selang lama saya berpikir, toh saya juga terkena sebagian dari penyakit tersebut dan masih mencari cara untuk sembuh, jadi munafik sekali saya kalau sub-judul tersebut sampai jadi. Oleh karenanya, daripada mengkritik sebagian diri-sendiri, lebih baik saya menceritakan orang-orang yang mungkin tepat untuk mengkritik saya.

Mahasiswa amatir, yang saya kagumi dari mereka adalah semangat penolakan mereka atas hal yang harusnya (atau lebih tepat, biasanya) dilakukan. Tentu mereka melakukannya dengan sadar. Ini butuh waktu yang lama, pikir saya. Seringkali pembicaraan mereka dimulai dari hal-hal aneh (karena jarang dibicarakan) tapi “pada umumnya”, seperti alam, puisi, hujan, sandal, bahaya, lagu, dan banyak lainnya. Kemudian pembicaraan berlanjut hingga persoalan “besar” seperti sistem pendidikan, ekonomi dan politik negara sampai perdebatan filsafat. Kebanyakan obrolan ini berlangsung spontan dan tanpa rencana, mengalir begitu saja tanpa batas. Dan biasanya berakhir dengan pisuhan, tawa keras, dan renungan.

Hampir semua dari mereka berasal dari organisasi mahasiswa. Asumsi awal saya yang berasal dari obrolan-obrolan tersebut, kesadaran yang muncul itu, kesadaran untuk membahas sedemikian banyak tema tersebut tidak mungkin bangkit dari bangku-bangku kelas. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk menilai bahwa ikut organisasi mahasiswa sama dengan sadar akan permasalahan. Namun, sedikit banyak akan mempengaruhi, atau singkatnya sebagai pembentuk kesadaran. Organisasi mahasiswa yang saya maksudkan disini bukan hanya organisasi mahasiswa yang turun ke jalan, yang mengobarkan idealismenya dengan megaphone. Karena saya pribadi memaknai idealisme jauh lebih luas dan mendalam daripada hal-hal tersebut. Satu lagi, nilai-nilai “ideal”isme bagi kita mungkin berbeda.

Saya merasakan proses penyadaran tersebut sendiri, tidak sekedar melalui cerita-cerita kepahlawanan para mahasiswa yang meruntuhkan orde lama dan baru misalnya. Oleh karena itu, saya bisa mengatakan bahwa apa yang saya dapat di perkuliahan formal tidak lebih banyak dari yang saya dapat dengan berproses di tempat lain. Proses penyadaranpun sebagian besar dilakukan dengan sukarela, tidak terikat jadwal, dan saya bisa memilih untuk “sadar” perihal apa terlebih dahulu. Sedangkan di ruang-ruang kelas? Bahkan untuk merasa nyaman saja saya kesulitan.


Refleksi Aktor dan (Penjara) Rasionalitas
Bekal akal-penalaran yang saya miliki mempunyai andil besar dalam sebagian besar pilihan yang saya buat. Mungkin kita semua begitu. Oleh karena itu, manusia bisa dikatakan sebagai aktor yang rasional. Rasional karena selalu ada perhitungan untung-rugi dalam setiap tindakannya. Dan pada umumnya, saya dan mungkin kita memilih melakukan sesuatu yang memberikan keuntungan lebih banyak dari kerugiannya, meski sangat tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sebaliknya. Namun tidak semua untung-rugi ini bisa dihitung secara ekonomi, seperti kepuasan diri misalnya. Saya mengambil 24 sks, tentu saja keuntungannya beban sks saya akan cepat habis, kemudian magang/KKN, dan lulus. Kerugiannya, saya kehilangan banyak waktu untuk tidur, ngopi, dan menjalani proses kreatif dan penyadaran di luar kelas. Ini sering terjadi saat saya akan dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda.

Seorang rekan, kakak sekaligus guru saya pernah menceritakan tentang dua orang Amerika yang sedang berdebat panas masalah rasionalitas manusia. Seorang mengatakan rasionalitas, atau yang biasa disebut logika rasional, adalah bawaan alamiah manusia. Sehingga hal itu bagaimanapun dan apapun konteksnya, akan tetap dilakukan. Tentu saja manusia tidak ingin melakukan suatu hal yang merugikan dirinya sendiri. Keuntungan harus dimaksimalkan dan dikejar terus-menerus.
Sedangkan yang seorang lagi menyebut logika kepatutan. Logika kepatutan ini terkait dengan norma dan terikat ruang-waktu. Orang itu mengatakan, rasionalitas memang penting, tapi itu tidak lebih penting dari apa yang disebut dengan kepatutan. Dia kemudian mencontohkan, kalau kita berkendara di malam hari yang sepi. Kemudian di satu sisi jalan ada lampu lalu lintas yang sedang menyala berwarna merah, logika rasional kemungkinan besar akan ‘memerintahkan’ untuk libas saja, daripada harus menunggu lampu hijau menyala, kan jalanan sedang sepi, tidak ada polisi, dan lain sebagainya. Namun logika kepatutan akan ‘melarang’nya, karena ada norma serta peraturan yang harus diperhatikan dan dilakukan. Dalam berbagai aspek, logika kepatutan ini sangat dekat dengan nilai-nilai ideal, hal-hal yang seharusnya dilakukan.

Orang ini juga menambahkan, logika rasionalitas itulah yang menyebabkan banyak petinggi negara kita melakukan korupsi, banyak pengusaha tidak membayar pajak dan melakukan pelanggaran hukum lainnya, dan banyak sekali mahasiswa (termasuk saya) memilih cepat lulus kuliah dan kemudian bekerja. Berusaha untuk diri sendiri tanpa sekerjap saja melakukan sesuatu (bahkan memikirkan saja tidak) untuk orang lain. Logika rasionalitas ini juga ikut andil dalam pergeseran pandangan para mahasiswa tentang kemahasiswaan itu sendiri, serta mengurangi bahkan menghilangkan idealisme (dalam maknanya yang luas dan mendalam) yang menurut logika kepatutan, melekat dalam diri mahasiswa. Idealisme untuk memilih mengorbankan sebagian waktu, uang, pikiran, dan bahkan jiwa-raganya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Melakukan sesuatu yang mungkin kecil, namun bermanfaat bagi khalayak umum. Melakukan suatu hal kecil yang mungkin bisa ‘mengobati’ sejumlah ‘penyakit’ di dirinya-sendiri (mahasiswa) dan masyarakat umum lainnya.

Pada titik ini, sering saya berpikir kalau saya hanyalah seorang romantisis-kronis. Seseorang yang menjalani serangkaian proses penyadaran kemudian menangis begitu sendu ketika melihat orang lain dianiaya, tidak bisa hidup layak, tidak bisa makan dan sekolah karena faktor finansial, tapi di sisi lain, saya tidak mau peduli kenapa dan bagaimana segala macam bentuk penganiayaan tersebut muncul dan terjadi berulang kali. Lama saya berpikir, ternyata saya menyadari bahwa tangisan tersebut hanyalah salah satu mekanisme perlindungan diri yang logika rasional lakukan untuk menghindari supaya diri saya tidak menangis di lain waktu.

Namun di titik yang sama, saya sadar, saya adalah narapidana di balik terali besi. Narapidana yang selalu dihadapkan pada pilihan untuk menunggu ‘vonis pengadilan’ atau menyelamatkan diri saya sendiri. Narapidana yang mampu mengatakan bahwa, “tidak ada benda pada benda itu sendiri, selalu ada benda lain di balik benda itu yang lain.” Serta yang menurut saya paling signifikan, narapidana yang mampu memilih secara sadar untuk mengobati ‘penyakit’ yang dideritanya. Seorang narapidana dalam dilema, yang rasional namun reflektif.[Pernah dimuat di Buletin Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesi (PPMI) Kota Jember Edisi April-Mei 2010]




Tulisan ini merupakan olahan dari sumber-sumber:
1. Dua paragraf pembuka :
a. Bab 4 buku ‘Handbook of International Relations’ yang dieditori oleh Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons. Terbit tahun 2002.
b. Buku monumental-klasik yang ditulis oleh Hans-Georg Gadamer yang berjudul ‘Philosophical Hermeneutics’, diterjemahkan oleh David E. Linge pada tahun 1976.

2. Sub-judul “Saya, Antara (Penjara) Mahasiswa Amatir dan Mahasiswa Akademis” :
a. Sub-judul ini Saya sangat terpengaruh oleh Brian Magee dalam bukunya yang berjudul ‘Memoar Seorang Filosof’, tahun 1997 dan edisi terjemahan Bahasa Indonesia terbit tahun 2005.
b. Dua buku yang sangat komprehensif membahas Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, serta Immanuel Kant yang kemudian membuat saya membatalkan niat Saya untuk meng”kritik”, namun tetap menjadi salah satu semangat keseluruhan tulisan ini ditulis oleh Frederick Copleston, yaitu ‘A History Of Philosophy’ volume 4 dan 6 (Bagian II). Masing-masing terbit tahun 1963 dan 1964.

3. Sub-judul “Tentang Mahasiswa Amatir, Setelah (Penjara) Itu…” :
a. Buku idola para “remaja” yang ditulis oleh Soe Hok Gie, ‘Catatan Seorang Demonstran’, utamanya bab 4 dan 5. Buku ini terbit tahun 1995 (Cetakan kelima).

4. Sub-judul “Refleksi Aktor dan (Penjara) Rasionalitas” :
a. Kerangka utama sub-judul dan tulisan ini saya dapat dari Alexander Wendt, lewat tulisan-tulisannya yaitu, ‘Anarchy is What the State Make of It’ yang terbit di Jurnal International Organizations tahun 1992 dan tentu saja karya monumentalnya, ‘Social Theory of International Politics’ yang terbit tahun 1999. Mau tidak mau Saya mengakui bahwa selain kritik, tulisan ini juga sangat berbau bahkan bernafaskan ‘konstruktivisme sosial’ dalam ilmu hubungan internasional.
b. Tentang ‘romantisisme’, Saya menyandarkan terma ini pada Bab I ‘A History Of Philosophy’ volume 6 (Bagian I), tetap ditulis oleh Frederick Copleston tahun 1964.
c. Masalah interaksi/dialektika logika kesadaran Saya ambil dari ‘Mind, Self, and Society’ utamanya bagian 4, yang ditulis oleh George Herbert Mead tahun 1934, terbit lagi tahun 1972.
d. Mengenai logika kepatutan dan persentuhannya dengan hukum moral, sumber tulisan ini adalah ‘Critique of Practical Reason’ yang ditulis oleh Immanuel Kant terbit pertama kali tahun 1781, terbit lagi tahun 1956 dan edisi Bahasa Indonesia tahun 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar