Perang Teks dan Hamlet yang Malang

-Gedung PKM Universitas Jember. Jam 19.30 WIB Sabtu 24 dan 15.30 WIB 25 Desember 2011-


“Seluruh perempuan seharusnya dijahit!” teriak seorang pria yang memakai jas krem kecoklatan, sambil ia mendorong cukup keras perempuan yang ia teriaki, “Sebuah negara tanpa ibu.”

Sebelumnya, delapan orang berpakaian serba hitam dalam barisan perlahan menuju ke tengah. Empat orang, dua di masing-masing sisi, memanggul peti mati. Dua orang di depannya, dengan wajah dilapisi make-up, nampaknya sedang berduka. Sedang yang berjas itu, mengambil posisi agak tinggi.

Ia episentrum getar malam itu: Pangeran Hamlet.

Kombinasi cahaya merah dan hijau menyorot orang-orang itu. Sedang Hamlet, terus berceracau, tentang penyesalannya terhadap ibunya, Gertrude, yang menikah dengan Claudius (belakangan ia memenjaranya dalam singgasana yang juga peti mati ayahnya). Claudius adalah pamannya, yang menggantikan ayahnya –suami Gertrude sebelumnya- dan juga raja Denmark. Dua orang inilah, Gertrude dan Claudius, yang memimpin prosesi pemakaman ayah Hamlet. Sang paduka raja.

Setelahnya dapat ditebak. Hamlet, yang dihantui oleh arwah ayahnya, terus berceracau kepada semua orang. Bahkan kepada dirinya sendiri. Hamlet yang malang, yang lalu menusuk Polonius (penasehat kerajaan) dan Horatio (sahabatnya). Sialnya, mereka berada di tubuh yang sama.

Padahal, baru sedetik yang lalu ia memuji Horatio sebagai ‘teman bertukar gagasan’.

Ophelia, saudara Laertes (keduanya anak Polonius), memberi satu dilema lagi. Ia menggoda Hamlet. Ia menyingsingkan lengan jas mewah Hamlet. Membukanya dan menggantikannya dengan rok panjang yang terulur hingga mata kaki. Hamlet yang malang, sekarang bukan pangeran. Ia menjadi putri. Putri Hamlet. Putri yang masih terus berceracau tentang politik, tentang kemanusiaan, tentang keluhannya kepada semesta.

Ophelia juga malang. Saat ia kembali ke tempatnya, di sebuah peti mati yang terdiam vertikal, Hamlet terkonsentrasi pada ocehannya. Segerombolan anak-anak pengetahuan berdatangan. Tiba-tiba, balon sabun bertebangan dan buku berjatuhan dari langit-langit.

Sedang Claudius tetap terjebak dengan arwah yang ia gantikan.

Mari tampil, dan tentunya: narsis. Ada kulkas, coca-cola, dan anggur. Anak-anak pengetahuan tadi, sekumpulan terpelajar, teronggok dalam pementasan fashion show setelah bermain-main dengan boneka. Sekumpulan penampil yang muncul dari belakang penonton, dengan luwes mempermainkan (atau lebih tepat merayakan) kebebasan terbatas mereka dengan busana yang sama sekali tidak cocok digunakan.

Selanjutnya, Mari berdisko! Lamput kelap-kelipnya sudah datang.

Gelar busana dibuka. Para penampil –yang sebelumnya menyembah buku dan balon sabun- berbaris menampilkan pakaiannya. Lalu mereka asyik berdansa. Suasana riuh, musik terus berdenyut. Hamlet masih mengoceh. Para penampil sibuk berjoget. Mereka semua saling menggelayut. Ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan ke belakang. Saat mulai asyik berjoget, para penampil itu tertawa keras. Keras sekali. Sampai tak memberikan kesempatan bagi orang lain berpikir. Hamlet duduk terdiam.

Lalu proyeksi gambar memuara ke satu hal: tumbangnya kediktatorian dengan diktator lainnya. Berturut-turut muncul gambar eksekusi Saddam Husein dan tumbangnya Moammar Khadafi.

Ophelia masuk dengan kursi roda, setengah menjerit, suaranya yang parau membunyi, “Disini Elektra bicara. Di dalam jantung kegelapan… Atas nama para korban aku mengeluarkan seluruh sperma yang telah aku terima. Aku mengubah susu di dadaku menjadi racun yang mematikan…”

Beberapa waktu kemudian, Hamlet naik kembali ke podium. Ia mengangkat kedua tangannya. Paraa penampil lainnya, kaum terpelajar, kaum gila fesyen, dan mimpi-mimpi yang tertawa itu masuk memenuhi ruangan. Mereka dengan serempak juga mengangkat kedua tangan. Menengadah, seperti berdoa.

Lampu mati. Panggung ditutup.

*****



Sayangnya, ini bukan drama Hamlet ‘saja’. Salah satu drama paling tersohor dalam sejarah pemanggungan naskah. Ini adalah Mesin Hamlet. Naskah yang diciptakan dengan koloni gagasan dan membawa tujuan Heinard Muller, seorang subversif asal Jerman Timur. Ditulis tahun 1977, dibawah pengaruh kuat Marxisme dan segala macam kondisi posmodern.

Beberapa orang menganggap kalau Muller adalah salah satu penerus Brecht. Muller menulis naskah yang berjudul asli Die Hamletmaschine ini hanya sepanjang 9 halaman. Sedang terjemahan ke bahasa Inggris setidaknya ada 3 versi, oleh Carl Weber, Marc von Henning, dan Jose E. Macian. Orang terakhir yang disebut juga mementaskannya di Leeds, Inggris, tahun 2008 lalu.

Keunikan naskah ini, selain termasuk yang sangat pendek, adalah motivasi Muller untuk memberi ruang yang amat luas bagi sutradara (dan penyutradaraan). Motivasi ini didorong oleh kebosanannya melihat konstelasi teater waktu itu.

Ini terlihat jelas di salah satu wawancaranya. Ia tak ingin kalau sutradara hanya sebagai sejenis properti dari penulis naskah, selayaknya aktor yang seringkali merupakan properti dari sutradara, “What often bores me in the productions is that the directors simply illustrate what is already in the text, instead of using it as association material, as a kind of supernovae, which inspires directors with idea.”

Terlihat jelas kalau Muller ingin, siapapun yang setelahnya akan mementaskan naskah itu, terus mengejar kekayaan gagasan yang tersedia. Artinya, aspek-aspek terpenting malah justru bukan yang ada di dalam naskah, melainkan yang berada di luarnya. Di kepala sutradara misal, atau bahkan di komposisi properti dan gerak aktor-aktornya.

Eksplorasi yang simultan antara tuturan naskah, sutradara yang menggunakan kuasa, dan aktor yang memberontak tentu saja memberikan keluasan kemungkinan yang tidak bisa diduga.

Adanya lampu disko, ekspresi aktor yang tercekik saat mendapatkan balon sabun dan pengetahuan, lantas fashion show yang diakhiri dengan gelegar tawa, mungkin cuma sederet gagasan yang tidak ‘biasa saja’ jika berdiri sendiri. Belum lagi ditambah dengan ilustrasi bunyi dan proyeksi gambar potongan film (serta berita) yang menggaet emosi penonton sekaligus ia mendorong para aktor bergerak menguasai panggung.

Tapi jika dibaca sebagai satu kesatuan, yang berarti kesemuanya saling mempengaruhi, gugusan teks tersebut seolah membawa pada kesadaran tertentu. Kesadaran yang memberi jeda bagi penonton untuk mengambil sedikit jarak dengan realitas. Sambil tetap tersadar kalau yang dilihatnya itu adalah realitas panggung.

Mungkin memang demikian, kalau naskah ini adalah mesin teks. Mesin yang memaksa sutradara untuk banyak menggali konteks di era Shakespeare dan Muller sekaligus. Taruna P. Putra, yang menyutradarai malam itu, dan timnya, juga sedemikian rupa mengolah pencahayaan, gulir ilustrasi musik, dan yang tak kalah penting kombinasi gerak dan ekspresi para aktor untuk menjawab tantangan Muller.

Tapi, resiko memainkan perayaan di tengah-tengah gugusan teks yang tidak terpadu (selayaknya banyak kondisi posmodern(isme) vis a vis modernisme atau positivisme), adalah potensi keretakan jika bahasa tutur (atawa dialog) tidak mendapat porsi perhatian yang besar. Dan kelemahan ini yang tampak sekali di pementasan Mesin Hamlet malam itu.

Seperti penyebutan, “Ini dramaku,” yang terlalu sering oleh pemeran Hamlet, menjadikan kritik yang dibangun menjadi terlihat remeh-temeh. Juga penyebutan istilah-istilah yang masih mendapatkan padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti ‘sniper’ yang bisa diganti dengan ‘penembak jitu’. Dua hal diatas sesungguhnya menjadi tulang-punggung teater yang menggunakan naskah Muller. Oleh karena itu ia menjadi krusial terhadap kritik dan perayaan yang dilancarkan.

Bahasa tetap saja adalah salah satu perangkat yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ia mungkin tidak mampu menjangkau beberapa hal kunci yang ada di dalam benak manusia (penonton, sutradara, atau aktor), tapi pada beberapa aspek ia juga adalah perangkat yang wajib dimainkan demi mencapai sudut-sudut tertentu agar kritik itu menjadi lekat dan bisa memantik, taruhlah sebentuk kesadaran.

*****



Suatu ketika, Macian pernah menginterpretasi dengan cantik naskah ini hanya dalam dua kalimat. Dua kalimat yang menjadi penegas betapa naskah ini adalah sebentuk manifes tajam yang bisa digalakkan bagi para penggiat pertunjukan teater. Bahwa mementaskan naskah ini, dengan simultanisasi seluruh aspek pementasan, “Adalah sebuah momen dimana tubuh (body) dan pikiran (mind) mengejar gagasannya sendiri… Momen ketika seni dan pemberontakan bersatu.”

1 komentar:

  1. IndoCBET adalah Daftar agen sbobet Situs Bandar Bola Online Terpercaya resmi Taruhan Bola dengan lisensi indonesia

    Bergabunglah bersama indoCBET bersama kami dengan Bonus Terbesar Saat ini

    BONUS NEW MEMBER 20%
    BONUS DEPOSIT 5%
    BONUS CASHBACK 5%
    BONUS ROLLINGAN 0.5%
    BONUS REFERENSI 5%

    Tersedia Agen
    SBOBET, AMGBET, CBET

    Deposti 25ribu

    Whatsapp indocbet : 0822.8637.2298

    BalasHapus