Naruto, Lingkaran Kebencian, dan Terorisme



Setelah membaca tinjauan singkat FB Hardiman di KOMPAS, 18 September 2011, atas buku Sejarah Teror yang ditulis Lawrence Wright, saya secara pribadi langsung tersentak. Dengan bernas, salah satu pemikir brilian yang dimiliki Indonesia ini menarik simpul isi buku tersebut, atau bahkan keseluruhan diskursus terorisme dengan satu kalimat kunci: “Sejarah teror tidak lebih daripada sejarah timbal balik yang menghasilkan rantai kekerasan.”

Pada titik ini saya langsung teringat dengan salah satu film serial animasi, Naruto Shippuden. Pada salah satu bagian cerita film yang rumit dan kompleks ini, si tokoh utama yang didiami monster paling buas, Naruto Uzumaki, menemukan lawan yang ternyata berguru pada gurunya juga. Si musuh ini bernama cukup aneh untuk ukuran film yang hampir seluruh nama tokohnya menggunakan kosakata Jepang, Pain.

Untuk mempersingkat, pertemuan antar kedua tokoh ini dimulai dengan terbunuhnya master mereka berdua, Jiraiya, seorang ninja legendaris yang dimiliki desa Konoha, desa tempat Naruto lahir dan besar. Painlah yang membunuh Jiraiya, gurunya sendiri. Bahkan guru Pain saat pertama belajar ninjutsu (ilmu dasar ninja). Pain yang waktu itu bertarung melawan Jiraiya telah menjadi ketua Akatsuki, sekelompok ninja sangat kuat yang menteror seluruh negara.

Naruto yang tahu belakangan, kaget karena mendapati guru yang paling dikaguminya mati.

Naruto sempat menangis semalam suntuk dan mendiamkan dirinya selama beberapa waktu. Setelah itu, ia akhirnya kembali berlatih keras untuk membalaskan dendam atas kematian Jiraiya. Latihan itu sendiri tidak sempat diselesaikan dengan sempurna oleh Jiraiya. Tepat pada waktu itu, Pain menyerang Konoha. Dengan kekuatan spesialnya yang tidak dimiliki siapapun di dunia ninja waktu itu, Pain berhasil meluluhlantakkan Konoha sekali pukul. Desa yang melahirkan Naruto dan Jiraiya ini hancur seketika.

Naruto yang terlambat tahu, kebetulan juga telah menyelesaikan latihan ninja tingkat lanjutnya. Saat ia sampai di desanya, ia menyadari bahwa cakra (aura) satu guru lain yang sangat disayanginya, Kakashi Hatake menghilang. Akibat beberapa kenyataan diatas, ditambah dengan luka pemimpin desa ini, Hokage kelima Lady Tsunade, yang sudah seperti nenek bagi Naruto, kebencian Naruto memuncak.

Akhirnya duel satu lawan satu (sejatinya Pain berjumlah 7 orang, 6 orang menjadi semacam robot yang dikendalikan dari jauh oleh seorang, yaitu Pain itu sendiri) antara Naruto dan Pain dimulai.

Singkat cerita, Naruto terdesak setelah berhasil menumbangkan kelima Pain. Tubuh Naruto dikunci oleh Pain. Percakapan yang menjadi inti tulisan ini dimulai.

Awalnya, Naruto dengan nada tinggi dan marah bertanya, untuk apa Pain melakukan semua ini. Pertama tentu membunuh Jiraiya, guru mereka berdua. Kedua, membunuh orang-orang tak berdosa, dan ketiga, menghancurkan desa Konoha.

Jawaban Pain mengejutkan Naruto, dan saya sendiri sebagai penonton. Tokoh yang ‘sangat antagonis’ ini berkata, “Menciptakan perdamaian dan membawa keadilan.”

Naruto makin marah, ia langsung menimpal, “Perdamaian? Keadilan? Omong kosong. Jangan pernah katakan hal itu padaku. Guruku, teman-temanku, desaku... setelah apa yang kamu lakukan, kau berani bicara tentang perdamaian dan keadilan?”

Naruto terisak. Memori tentang orang-orang yang disayanginya muncul. Tapi mata dingin Pain tetap tajam. Seolah tak memperhatikan Naruto, ia malah bertanya,

“Lalu coba katakan padaku, apa tujuanmu?”

Dengan menengadah, Naruto berteriak, “Aku akan membunuhmu, dan membawa perdamaian kembali ke dunia ninja.”

“Aku tahu, tujuan muliamu,” lantas Pain melanjutkan kata-katanya, suaranya tetap datar, “Tentu saja itulah keadilan. Bagaimanapun...”

Pain mengitari tubuh Naruto yang tengkurap dan terkunci. Lalu meneruskan kalimatnya yang tak selesai, “Keluargaku, teman-temanku, desaku... mereka menderita keyakinan yang sama dengan apa yang kalian alami di desa ini, ninja Konoha.” Bayangan keruntuhan Konoha nampak.

Pain masih belum ingin menghentikan kata-katanya, “Adilkah apabila hanya kalian yang mengajarkan perdamaian dan keadilan?”

Raut wajah Naruto berubah. Nampak sekali kebingungan melanda dirinya, “Apa yang kau bicarakan?!”

Pain menjawab, tetap dingin seperti biasa, kalau desa-desa di sekitarnya berkembang terlalu besar. Termasuk Konoha. Maka untuk melindungi kepentingan nasionalnya, pelbagai klan di negara-negara tersebut ‘dipaksa’ untuk berperang satu sama lain, tentu saja dengan mengambil untung dari keadaan tersebut.

Sampai disini saya teringat diktum neorealis, suatu paradigma utama di ilmu hubungan internasional pada masa Perang Dingin. ‘Struktur (sistem internasional) memaksa agen (negara) untuk bertindak. Jika agen tidak bertindak sesuai ‘perintah’ struktur, maka struktur akan memberi hukuman pada agen.’ Indonesia pernah sekali mengalami hal itu. Semasa Perang Dingin, dengan struktur yang bipolar (AS-Sekutu vs USSR), Soekarno berani menginisiasi Gerakan Non-Blok (GNB). Apa yang terjadi? Indonesia dihukum, Soekarno ‘dijatuhkan’. Dan sejarah itu dan tentang yang mengitarinya masih buram hingga saat ini.

Pain lalu menjelaskan konteks ia berbicara. Nampaknya ia memang sangat serius menantang Naruto dalam percakapan tentang perdamaian dan keadilan, “Negara dan desa kecil seperti kami menjadi medan tempur bagi peperangan negara-negara besar. Dan sepanjang waktu tersebut, negara kami binasa, dan yang tersisa hanya puing.”

Nada bicara Pain makin meninggi, “Setelah perang besar itu mereda, negara-negara besar menjadi stabil. Negara kecil seperti kami ditinggalkan dengan menderita luka dan kepedihan.”

Naruto terdiam, cukup lama matanya meredup, seolah ia juga ingin memiliki memori kehancuran tersebut. Pain melanjutkan bicaranya, tanpa memberi kesempatan Naruto berpikir, kali ini nadanya telah kembali datar, dan dingin,

“Aku dan kamu mencari hal yang sama. Kita sama-sama mencoba untuk menciptakan perdamaian, suatu yang sangat menjadi keinginan Guru Jiraiya. Kita tak berbeda sama sekali. Kita bertindak menurut keyakinan kita sendiri akan keadilan. Keadilan yang aku kirimkan untuk Konoha tidak ada bedanya dengan yang kamu coba lakukan padaku. Luka akan kehilangan sesuatu yang kamu sayangi juga aku alami,” sepasang mata Naruto makin redup, tapi Pain masih bersuara,

“Dan kita berdua mengenal dengan baik apa itu luka. Kamu memiliki keadilanmu, dan aku memiliki keadilanku. Aku dan kamu hanya orang biasa, dipaksa melakukan balas dendam atas nama keadilan.”

Tatapan Pain menajam, “Bagaimanapun, jika ada keadilan dalam balas dendam, lalu keadilan hanya akan meminta balas dendam yang lebih-lebih lagi,” Pain meninggikan suaranya, “Seketika sebuah Lingkaran Kebencian dimulai.”

Naruto tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikitpun...

“Kita hidup di tengah fenomena seperti itu saat ini. Kita tahu apa yang terjadi di masa lalu, kita mampu menebak apa yang terjadi di masa depan. Sejarah seperti itulah yang kita tahu,” nada bicara Pain tak kunjung kembali datar.

“Kita tak akan pernah bisa mengubahnya, kita hanya bisa meyakininya, bahwa manusia tidak akan pernah mampu memahami satu sama lain,” bayangan perang dan segala reruntuhan muncul lagi, Pain terus memandang Naruto, “Dunia ninja selalu dikuasai oleh kebencian.”

Pain menutup percakapannya dengan Naruto dengan mengajukan satu pertanyaan, “Bagaimana mungkin kau menghadapi kebencian ini, dalam rangka untuk menciptakan perdamaian? Aku ingin dengar jawabanmu.”

Mereka berdua diam sejenak. Pain menunggu Naruto menjawab, dan Naruto sambil memejamkan seolah menunggu dirinya sendiri menjawab. Akhirnya suara keluar dari mulut Naruto, “Aku tidak punya jawaban pertanyaanmu.” Angin yang membawa debu kembali bergerak.

Pain lalu menjawab pertanyaannya sendiri, “Aku membentuk Akatsuki untuk menghentikan Lingkaran Kebencian ini. Aku bisa mengakhirinya. Oleh karenanya aku perlu kekuatan monster di dalam tubuhmu, untuk menciptakan senjata yang kekuatannya jauh lebih besar dari yang menghancurkan desa ini. Sebuah kekuatan yang cukup untuk menyapu seluruh negara sekali tembak.”

“Maka dunia akan memahami luka yang sesungguhnya,” Pain bersemangat melanjutkan kata-katanya, “Ketakutan yang tertanam oleh luka tersebut akan mencegah terjadinya peperangan. Dan dunia akan berada pada jalan menuju stabilitas dan perdamaian.”

Naruto menyanggah, “Tapi perdamaian macam itu hanyalah semu belaka.” Pain menimpali sama cepatnya, “Manusia bukanlah makhluk paling cerdas, hanya inilah jalan untuk mendapatkan perdamaian.”

“Setelah beberapa dekade, luka tersebut dengan cepat menghilang seiring waktu. Luka itu tak akan lagi mampu menjadi pencegahan, dan manusia akan memulai perang besar sekali lagi. Saat itu mereka akan menggunakan senjata itu melawan manusia lainnya, untuk merasakan kembali apa luka itu sebenarnya. Lalu perdamaian akan kembali lagi, untuk sejenak,” suara Pain kembali datar,

“Dalam medan Lingkaran Kebencian tak berujung ini, Luka akan menumbuhkan perdamaian sesaat. Itulah mimpiku. Perdamaian akan berada di dalam genggaman kita.” Pain mengakhiri kata-katanya. Naruto masih terdiam.

Memori saya langsung terarah pada Perang Dunia. Tentu kita ingat bagaimana Perang Dunia, yang diakhiri oleh hancurnya salah satu pihak. Jerman dan sekutunya di masing-masing edisi. Pada edisi II, kata-kata Pain diatas malah terbukti dengan jatuhnya bom maha-dahsyat di tubuh Jepang. Beberapa saat setelah diinisiasi oleh kehancuran Jerman yang dari dua arah dikepung oleh Pasukan Sekutu dan Soviet.

Senjata itu, bom atom, digunakan sebagai pembenaran untuk menciptakan perdamaian. Perdamaian yang tentu saja menjadi luka menganga di pihak yang kalah, mungkin juga pada pihak yang menang. Paling nyata, segala kehancuran yang dialami oleh negara yang menjadi medan pertempuran dua belah pihak itu. Indonesia mengalaminya, meski momentum itu dimanfaatkan dengan baik oleh segelintir warga untuk memerdekakan Indonesia.

Pain benar sekali lagi. Beberapa saat setelahnya, Lingkaran Kebencian kembali dipantik. Perang Dingin yang dikelola oleh Soviet dan AS-Barat, dengan menggunakan negara-negara kecil sebagai medan pertempuran, seperti Kuba, Afghanistan, dan Asia Pasifik, terutama Indonesia-Malaysia, Korea, dan Vietnam.

Pada perkembangannya, Sirkuit Kebencian tidak hanya menjadi ajang balapan negara. Ada pihak yang sadar, sirkuit itu harus dihentikan. Gorbachev-lah orang itu. Kalau dipandang dari sudut ini, ia mungkin melihat bahwa ‘perang’nya dengan Barat tidak akan bisa berhenti kalau bukan ia yang memberi contoh. Dengan Glasnost dan Perestorika, ia mencoba mengeluarkan Soviet dari sirkuit tak berujung ini.

Parade kebencian terus bergulir. Lagi-lagi seperti kata Pain, saat manusia tak mampu benar-benar memahami satu lain, wacana terorisme disebar. AS dengan segenap kekuatan mencoba melindungi kepentingan nasionalnya. Akatsuki, juga sering disebut sebagai teroris oleh para pemimpin negara-negara besar di film itu.

Taruhlah bahwa runtuhnya menara kembar WTC benar bukan rekayasa, melainkan aksi ‘teroris’ seperti ditulis Wright dalam Sejarah Teror. Osama yang memendam kebencian begitu dalam, menumpuk-numpuk oleh beberapa peristiwa-seperti ‘diduduki’nya Saudi, diskursus de-islamisasi yang dimotori AS, dsb-, sukses membalaskan dendamnya.

Tidak butuh waktu lama, Amerika merespon persis seperti yang dilakukan Osama. Menghancurkan banyak tempat. Dua yang paling lama adalah Afghanistan dan Iraq. Osama dan simpatisannya mengulangi hal yang sama, menghancurkan banyak tempat. Lagi-lagi, Indonesia juga mengalami hal ini. Bom Bali, Kedubes Australia, dan Hotel Marriot. Negara membalasnya dengan menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai pelakunya. Hingga kini, satu dekade lebih setelah WTC runtuh.

Kalau kita hapus variabel siapakah- dan berapa-jumlah-korban, maka pola yang dilakukan oleh kedua pihak yang sedari tadi dibahas (mulai Perang Dingin I dan II, Perang Dingin, Perang Negara melawan ‘Teroris’, dsb.) sama persis. Kesimpulan dilempar lebih dulu, dan alasan tidak menjadi penting.

Setiap kekerasan dan tindak menyakiti orang lain, mulai dari skala terkecil sampai terbesar, sejatinya merupakan perang melawan kesepahaman antar manusia. Pain juga cukup memadai dalam menjelaskan bahwa kegagalan manusia dalam memahami satu sama lain, adalah pranata kunci munculnya perang.

Pranata ini sekaligus membentuk institusi, wacana, dan keyakinan kita. Pranata ini jugalah yang tiap saat dikampanyekan oleh media. Ia lalu masuk ke alam bawah sadar dan membentuk nilai-nilai yang kita yakini, dan kemudian kita perjuangkan mati-matian. Bukankah para tentara dan polisi negara di satu pihak, dan yang kita sebut para teroris di pihak lain, sama-sama bersedia mati demi keyakinannya masing-masing?

Di sisi lain, perang melawan terorisme, dalam arti yang luas, juga perang melawan diri sendiri. Teror selalu merupakan alat untuk mencapai kepentingan dan hasrat yang lebih besar lagi. Teror adalah definisi paradoks yang selalu melekat dalam diri manusia, demikian pula perang. Pertarungan antara kedua definisi, dan tentu kedua sisi dalam diri kita, selalu berpeluang untuk memperlebar jurang ketidaksepahaman antar manusia.

Sepertinya harus ada perang besar untuk menancapkan luka, sekali lagi. Peristiwa yang diyakini oleh Pain akan menahan perdamaian sejenak. Sebelum beberapa saat nanti hilang.

Kita boleh mengutuk AS, mengutuk para teroris, atau mengutuk keduanya sekaligus. Akan tetapi kutukan juga sebentuk kebencian yang makin mempercepat balapan dalam sirkuit kebencian, atau lingkaran kebencian, dalam istilah Pain. Tetapi sadar atau tidak, diri kita sama-sama memiliki keyakinan yang dimiliki oleh AS dan para teroris itu sekaligus. Hanya nyali, daya, dan kekuasaan kita yang tak sebesar mereka.

Pada akhirnya saya harus menentukan posisi saya. Dan saya sedikit banyak sepakat oleh Pain. Bahwa manusia sangat naif sekali ketika berkata akan bisa memahami satu sama lain. Hobbes pernah mengatakannya dalam Leviathan.

Akan tetapi, pada aspek yang lain saya tidak sepakat dengan Pain. Aspek itu adalah aspek akal-budi. Kant pernah menjelaskannya dalam Critique of Pure dan Practical Reason. Ada sisi lain manusia yang krusial, yang tidak menjadi bahan pemikiran Pain. Bahwa manusia punya akal-budi. Manusia juga selalu mampu berinteraksi. Maka lewat interaksilah, setidaknya akan muncul remah-remah pemahaman bahwa tak perlu ada yang saling menyakiti.

Naruto yang sempat bingung di akhir percakapan dengan Pain tadi hanya sanggup memejamkan mata. Ternyata, tawaran jawaban yang dibutuhkan Naruto atas serangakaian kata-kata Pain justru datang dari arah yang tak dinyana. Ia datang dari sepenggal ingatan Naruto saat bercakap dengan Jiraiya di suatu pagi, “Meski aku telah melihat begitu banyak kebencian di Dunia kita, dan jika aku ingin melakukan sesuatu terhadap kebencian ini, aku tak yakin apa yang harus dilakukan,” Jiraiya lalu tersenyum penuh teka-teki,

“Aku yakin akan datang suatu masa, saat manusia dapat benar-benar memahami satu sama lain,” ia memandang Naruto yang waktu itu masih kecil lekat-lekat, “Dan jika aku tidak dapat menemukan jawabannya, mungkin aku akan mempercayakannya padamu untuk menemukannya.”[]

5 komentar:

  1. saya dpt ikan yang cukup besar dr tinjauan mas adit melalui tulisan ini, mata sy teralihkan ketika mas adit analogi-kan tulisan ini dgn film Naruto. sy dpt link ini dr teman fb.
    Postingan ini nggilani mas..makasih

    BalasHapus
  2. Keren postingannya.. dapat menyangkut pautkan dunia anime kedunia nyata.. hebattt

    BalasHapus
  3. Keren postingannya.. dapat menyangkut pautkan dunia anime kedunia nyata.. hebattt

    BalasHapus
  4. Njirr, sampai bawa bawa dunia nyata 😂👏

    BalasHapus