Nasionalisme dalam Negara – Bangsa

(Sebuah Refleksi Kritis Terhadap Kapabilitas Simbol Negara Indonesia)



Nasionalisme, satu kata yang mungkin mengingatkan kita pada perjuangan pahlawan – pahlawan pra kemerdekaan dulu, bagaimana mereka dengan gagah berani menghadapi musuh negara, penjajah. Mulai dari jaman VOC, tentara kolonial Belanda, Inggris, sampai Jepang. Hanya untuk satu tujuan, yaitu memerdekakan negara ini dari kolonialisme para kolonialis. Sungguh trenyuh apabila mengingatnya. Tetapi, apa sebenarnya yang disebut Negara itu? Dan kenapa Negara itu identik dengan Nasionalisme? Lalu apa implikasinya pada Politik Kebangsaan Indonesia?


Negara dalam Diskursus
Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris mengatakan bahwa negara adalah suatu entitas tertinggi yang wajib melindungi setiap orang yang ada di dalamnya. Dikarenakan orang – orang tersebut telah menyerahkan sebagian kedaulatannya agar dapat hidup damai dan sejahtera. Hobbes beranggapan bahwa homo homini lupus, sehingga dibutuhkan suatu majelis atau badan yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia – manusia didalamnya. Agar, kebebasan tiap manusia tidak melanggar kebebasan manusia lainnya. Oleh karena itu, majelis atau badan tersebut berhak secara absolut untuk menghukum manusia didalamnya. Hobbes menamakannya sebagai Leviathan.[i] Inilah yang disebut dengan teori perjanjian negara.

Sama seperti Hobbes, negara dalam pandangan John Locke berasal dari state of nature manusia. Tetapi perbedaan mendasarnya dengan Hobbes ialah, negara menurut Locke ialah pelindung hak milik pribadi. Karena menurut Locke, sejatinya manusia bebas menggunakan hak milknya dengan tidak tergantung oleh orang lain. Sedangkan negara sendiri mempunyai kekuatan yang besar karena manusia menyerahkan sebagian kedaulatannya, tetapi, negara tidak berkekuasaan absolut seperti yang diungkapkan oleh Hobbes. Locke berkeyakinan bahwa negara harus mempunyai batas kekuasaan, yaitu adalah hak alamiah manusia, yaitu hak yang sudah melekat padanya ketika di lahir. Hak ini ialah hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Oleh karena itu, negara tidak bisa mengambil atau menggunakan hak alamiah ini. Sehingga Locke memisahkan antara aspek legislatif (pembuat undang – undang) dan eksekutif (pelaksana pemerintahan). Sehingga kaum eksekutif dan legislatif akan saling mengawasi (check and balance), dan ketentraman masyarakatpun terjaga.[ii] Yang kemudian oleh Montesque ditambahkan unsur yudikatif sebagai pembuat hukum.

Tetapi berbeda dengan kedua filsuf diatas, seorang asal Jerman, yaitu Karl H. Marx, menganggap bahwa eksistensi negara adalah bentuk sebuah ketidakberesan yang sifatnya fundamental dari masyarakat. Menurut Marx, negara tidak mengabdi kepada seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan klas – klas sosial tertentu saja, menjadi alat suatu kelas dominan untuk mempertahankan kepentingan mereka.[iii] Ini merupakan pemikiran Marx yang melandasakan filsafatnya pada materialisme historis.[iv]Cukup menarik bukan?


Hegemoni Nasionalisme
Ingatkah kita sewaktu berada di sekolah dasar dan menengah dahulu, ketika dilaksanakan upacara bendera di sekolah, pada saat mendengar lagu Indonesia Raya, sambil menatap Sang Merah Putih dan Burung Garuda. Terasa ada semangat yang membuncah di dada. Semua perbedaan ras, suku, agama, et cetera akan langsung sirna seketika. Seakan – akan, semua yang hadir disitu (mungkin) ingin dengan lantang berkata “Saya Warga Negara Indonesia!” Rasa nasionalisme kitapun serasa dinjak – injak ketika Malaysia berusaha mengklaim kebudayaan (asli?) kita.

Benedict Anderson, seorang pengamat kenegaraan pernah mengungkapakan bahwa Nasionalisme adalah sebuah imagine community, komunitas yang dibayangkan, karena ia dipahami sebagai perserikatan horizontal yang membangun semacam hubungan antar anggotanya dan hubungan itu bukan hubungan tatap muka sebenarnya. Sebuah komunitas yang lebih luas dari desa – desa dengan kontak tatap muka langsung adalah hasil imajinasi. Akan tetapi mereka mampu membayangkan dan memikirkan kebersamaan mereka dengan simbol – simbol yang dibuat oleh penguasa atau mereka kreasikan sendiri. [v] Jika ditelaah lebih lanjut, mungkin benar juga ujar Pak Ben, mana mungkin orang yang ada di Papua sana dapat mengenali saudara senegaranya di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan lainnya, yang secara geografis terpisah oleh lautan, dan berjarak ratusan kilometer jauhnya.

Pun demikian halnya yang dikatakan oleh Hans Kohn, seorang pemerhati nasionalisme. Paham nasionalisme menekankan bahwa kesetiaan individu sepenuhnya diserahkan pada negara kebangsaan (nation-state, yang mungkin jika dikaitkan pada perjanjian Westphalia tahun 1648, bisa disamakan dengan raison d’etre, atau alasan bernegara-bangsa). Dari hal ini impuls dan sikap rakyat banyak memegang peranan penting, digunakan bahkan diklaim untuk mengesahkan kekuasaan negara dan pembenaran kekuasaan negara.

Hal ini akan menjadi ironis ketika kita mengulang lagi pernyataan Marx, dimana negara hanya sebagai pelayan klas – klas tertentu saja. Rakyat kebanyakan “dipaksa” untuk melaksanakan kebijakan – kebijakan negara, yang adakalanya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dengan tegas, Antonio Gramsci, mengemukakan konsep hegemoninya. Hegemoni yang berasal dari kata “eugemonia” (Yunani Kuno), diartikan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara – negara kota (polis atau citystates) secara indivdual, terhadap negara kota lainnya. Contohnya Athena dan Sparta. Dewasa ini, arti hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dan dominasi. Kepemimpinan dilakukan atas segenap sekutu dan dominasi dilancarkan kepada seluruh musuh – musuhnya. Hal ini dilakukan dengan cara – cara seperti kekerasan, agitasi, produksi wacana atau propaganda, dan lainnya. Bagi Gramsci, seorang pemimpin akan memperoleh supremasinya melalui dua cara yaitu dominasi, koersif serta kepemimpinan intelektual dan moral. Singkatnya hegemoninya Gramsci ialah gabungan antara paksaan dan kesukarelaan.[vi]

Nah, jika dikaitkan antara kedua hal diatas, negara yang selama ini dianggap given atau taken for granted bisa dimentahkan. Nasionalis yang murnipun bisa dikatakan terhegemoni, oleh negara. Mungkin ini adalah buah kesuksesan dari Pak Karno dkk. serta Pak Harto dkk. Pak Karno mungkin dengan hebatnya mampu membuat slogan – slogan yang membangkitkan perasaan itu, dengan anti-barat, anti-imperialisme, dan anti-Malaysianya. Tetapi apakah Cuma sekedar itu saja yang dibutuhkan bangsa ini untuk hidup?

Salah satu diktum Michael Foucault yang terkenal ialah “Power makes Knowledge”, dan mungkin memang itu yang terjadi. Bagaimana Bung Karno mampu memproduksi (contoh) Nasakom, yang merupakan refleksi dari kelompok – kelompok yang ada di Indonesia ini. Mungkin ada yang terlupakan, disamping kondisi politik seperti ini, kawasan periphery yang tersebar di pulau – pulau dengan kebudayaannya yang beragam menjadi termarjinalkan. Indikasinya pada pemberontakan yang terjadi berkali – kali mulai awal kemerdekaan hingga sekarang. Apakah ini cermin dari ketidakpuasan mereka atau memang sebagai bukti bahwa nation building kita yang masih tipis? Pak Harto pun tidak jauh berbeda, meski dengan style kepemimpinan yang kalem, namun tangan besi. Proposionalnya Nasionalisme menjadi barang langka (kalau tidak mau disebut tabu), justru dijadikan alat untuk represif, otoriter, bahkan lebih radikal dari sebelumnya. Kembali, kelompok yang termarjinalkan melakukan perlawanan, mungkin pemerintah menganggapnya subveresif, komunis, dan sebagainya, tapi jika digali lebih dalam, mungkin juga itulah perlawanan yang bisa dilakukan mereka kepada rejim eyang. Ini diafirmasi oleh T.H. Sumartana, pengamat politik asal Jogja, “sebenarnya apa yang dilakukan oleh gerakan separatis ialah bentuk protes pada pemerintah. Pemerintah seharusnya mengakomodir hal ini, bukan malah menghantamnya secara membabi buta. Sehingga nasionalis disini menjadi perspektif yang negatif, menjadi dalih kepentingan pemerintah, tidak boleh dikritik bahkan diumpat. Sungguh lucu bukan? Wong ini buatan manusia sendiri.”


Revitalisasi dan Reorientasi Nasionalisme
Segi positif nasionalis sebagai konstruk dari manusia ialah terbentuknya kontrak sosial, dimana masyarakat didalamnya mampu bersama – sama membangun kehidupan yang lebih baik. Karena itu, dibutuhkan waktu dan ruang yang tidak sederhana dalam mengkonstruknya kembali. Jika kondisi nasionalisme kebangsaan masih seperti ini, atau apalah namanya, masih butuh perawatan dan yang jeli, teliti dan cerdas, sehingga nasionalisme yang sakit ini tidak semakin akut.
Juga dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh elemen di Indonesia ini. Supaya potret – potret buram masa lalu tidak kembali lagi. Jika upaya itu dilakukan, maka seluruh suku bangsa, agama, dan ras akan dapat bersatu dalam komuitas imajiner ini, sehingga kata – kata Marx yang menganggap bahwa negara merupakan pelayan suatu klas atau kelompok saja tidak terbukti disini, di Bumi Pertiwi ini. Tabik.[]



Catatan Akhir
[i] Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni. 1999; hal.89.
[ii] ibid. hal 91-93
[iii] ibid. hal 97
[iv] Materialisme Historis sendiri ialah suatu pandangan bahwa segala sesuatu kegiatan manusia pada hisotrisnya merupakan tindakan – tindakan materialis (bersifat material, seperti produksi dan konsumsi). Baca lebih lanjut di karya – karya Marx seperti Comunism Manifest, Das Capital, dll.
[v] Majalah TEGALBOTO, 2001;hal.14.
[vi] Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni. 1999; hal 115 – 120

Cicak Buaya;

Kegagalan Praksis Negara-Hukum Indonesia


Tampaknya, kemenangan SBY dalam pilpres kali ini tidak mendapat kado yang menyenangkan. Belum genap 100 hari masa bulan madu SBY dan Boediono sebagai kepala negara, 'bentrok' antar 'anak buah'nya meruncing. KPK 'melawan' Polri plus Kejagung. Pun demikian dengan media massa yang seolah tidak pernah bosan selama beberapa minggu belakangan memberitakan perseteruan yang semakin lama semakin ruwet nan njlimet.

Indonesia, sebagai negara hukum, tentu telah mengatur bagaimana arah gerak dan tujuan masing-masing institusinya. Namun setelah meledaknya rangkaian peristiwa tersebut, pemikiran mengenai konsep tatanan aturan kekuasaan menjadi terefleksikan kembali. Karena, meskipun secara aturan hukum kasus ini menimpa para personal, bukan secara organisasional, namun yang tidak dapat disangkal adalah, tetap saja personal-personal tersebut mempunyai kapabilitas dalam institusi formal kenegaraan tersebut. Apalagi bergeraknya pun secara 'bersama-sama' dan menggunakan 'seragam'.


Konsepsi dan Praktek Kuasa Administrasi Kenegaraan
Berbicara tentang institusi pelaksana pemerintahan, tentu tidak bisa mengesampingkan adanya kekuasaan. Sedangkan bila berbicara tentang kekuasaan dalam sistem kenegaraan tentu tidak bisa dilepaskan dari pelembagaan mengenai kekuasaan itu sendiri, yaitu eksekutif. Meminjam pandangan dari Jurgen Habermas, eksekutif inilah yang melaksanakan undangundang (atau konstitusi, dimana secara luas dapat dipahami sebagai legitimitas yang diperoleh dari rakyat yang notabene adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam politik demokrasi dan negara hukum), sehingga merepresentasikan diri mereka sebagai pemegang kuasa administrasi (kekuasaan legal atau biasa disebut pemerintah). Eksekutif ini pula yang menjadi jembatan penghubung antara kepala negara (atau negara itu sendiri) dengan rakyat luas.

Habermas juga mengingatkan bahwa eksekutif bukanlah subjek yang berkuasa untuk mengendalikan masyarakat. Eksekutif merupakan tipe kekuasaan untuk pencapaian tujuan kolektif di dalam kerangka hukum, dan karena hal itulah 'penguasa administratif' adalah bagian penting dari sebuah sistem sosial. Sekaligus kekuasaan administratif haruslah menggunakan cara-cara yang independen (dalam arti, hanya menaati norma hukum dan asas kebermanfaatan masyarakat umum, bukan untuk individu, golongan atau kelompok lainnya) dan profesional untuk merealisasikan tujuan-tujuan kolektif yang telah 'disepakati' dengan instrumen yang dimilikinya.

Hal penting lainnya adalah, hukum yang legitim tidak mengijinkan siapapun untuk 'lepas' dari jangkauannya, dikarenakan pembentukannya adalah lewat norma politis, sehingga para penyusun hukum legal tersebut juga harus menaatinya sebaik masyarakat kebanyakan. Selain itu, yang mungkin perlu diingat kembali adalah kekuasaan politis 'memakai' hukum sebagai sebagai sarana organisasi dan 'kekuasaan' ini sendiri dilegitimasikan lewat hukum. Ini penting, karena hukum sebagai norma lebih dalam daripada sekedar pelaksanaan praktisnya dan berkaitan dengan suatu kuasa atas masyarakat, dimana kuasa yang telah dilegitimasi oleh hukum tersebut adalah untuk mencapai tujuan bersama, bukan personal atau kelompok tertentu.


Percakapan atau Perseteruan 'Rakyat'?
Berkaca dari pembacaan Habermasian tersebut, 'konflik' yang terjadi diantara institusi formal negara tersebut seakan memunculkan sisi problematis mengenai legitimasi mereka. Karena yang perlu diingat, institusi tersebut bukanlah partai politik atau kelompok 'kepentingan' lainnya, yang mewakili golongan dan kepentingan tertentu. Mereka adalah institusi yang secara formal mendapat legitimasi rakyat (yang secara otomatis juga hukum) keseluruhan (baik sukarela atau tidak). Pun demikian jika membahas mengenai konsep 'kepentingan' yang ikut di dalam personal institusi tersebut, karena 'dibentuk' melalui hukum yang telah 'disetujui' oleh rakyat (meski tidak secara komprehensif), maka (harus?) relevan kiranya institusi-institusi tersebut juga melayani sang penciptanya, yaitu rakyat.

Negara hukum menurut Habermas, mengandaikan misalnya, adanya 'percakapan' yang setara antara semua anggota sistem sosial, tidak terkecuali antar institusi kenegaraan. Jika kemudian kasus tersebut dipandang sebagai percakapan, maka tetap tidak bisa dibenarkan bahwa percakapan itu mengganggu atau bahkan menghilangkan atribut mereka sebagai sarana pencapaian tujuan kolektif, hingga mereka bisa saling menabrak dan menghancurkan satu sama lain. Ketika percakapan di ranah hukum yang sedang dilakukan kemudian dipolitisasi (meskipun lagi-lagi, akan problematis jika kita memisahkan antara hukum dan politik dalam makna sedalam-dalamnya) maka akan terjadi penyelewengan terhadap konsepsi negara hukum itu sendiri. Beberapa pertanyaan yang menggelitik kemudian, apakah percakapan tersebut adalah juga merupakan ‘perseteruan rakyat’?

Karena toh, mereka sama-sama mendapatkan sumber legitimitasnya dari persetujuan rakyat. Jika coba mengambil titik positif misalnya, bahwa mereka bercakap-cakap sebagai salah satu bentuk pencapaian tujuan kolektif itu tadi, namun kenapa mereka berseteru? Akankah tujuan mereka secara organisasional berbeda? Atau tujuan 'rakyat' yang merupakan sumber legitimasi mereka berbeda?


Akhirnya…
Habermas lalu menawarkan sebuah rangkaian kata kunci dalam teori diskursusnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. “Strategi reformasi demokratis!” Begitu kira-kira ujarnya. Karena sudah seharusnya kekuasaan yang dilakukan secara administratif tidak berjalan di atas kakinya sendiri, melainkan mendasarkan dirinya pada kekuasaan yang dihasilkan secara komunikatif. Teori diskursus kemudian juga menuntut radikalisasi komunikasi politis dengan sarana diskursif yang dilakukan oleh bukan hanya pelaku politik, namun seluruh warga negara. Mungkin hal ini akan menyimpan makna ganda dalam pelaksanaannya, karena tentu, kita sudah memiliki parlemen yang (katanya) adalah representasi keseluruhan warganegara di pemerintahan.

Maka untuk poin tersebut, Habermas menggarisbawahi bahwa untuk melaksanakan hal ini adalah parlemen sebagai sumber aspirasi masyarakat (itu kalau kita berandai-andai bahwa parlemen sudah paham dalam melaksanakan esensi dan eksistensi mereka). Namun, pada titik ini pulalah parlemen juga TIDAK BOLEH melepaskan dirinya dari bermacam kran aspirasi rakyat, seperti ruangruang publik formal maupun informal yang ada di masyarakat, media massa yang 'sehat', pihak oposisi, dsb. Hal ini juga bermakna ganda bagi parlemen itu sendiri, karena parlemen selain sebagai pengawas juga diawasi oleh komunikasi demokratis yang terjadi di dalam dan luar tubuh mereka. Pertanyaannya kemudian, akankah harapan tersebut menjadi nyata? []

Dilema Narapidana; Sebuah Pengakuan

Dia yang tidak mau mengorbankan jiwanya untuk menyelamatkan dunia secara kolektif, tidak logis dalam seluruh penyimpulannya.
Karena itulah prinsip sosial secara intrinsik berakar dalam logika.

(Charles S. Peirce)


Jelas teringat dalam benak saya, sebuah cerita lama tentang dua orang perampok yang telah berkawan lama. Suatu ketika kedua perampok tersebut merampok sebuah bank dan tertangkap sebelum sempat menikmati hasil rampokannya tersebut. Di tengah masa tahanannya, seorang komandan polisi memberikan tawaran pada satu per satu perampok tersebut: “Katakan dimana hasil rampokanmu, maka kami akan membebaskanmu tanpa syarat dan segala hukuman kalian nantinya akan ditujukan pada rekanmu.”

Tidak berselang lama setelah mengingat cerita itu. Seorang paruh baya asal Jerman mengingatkan saya pada satu istilah terkenal, “Kembali pada benda itu sendiri.” Orang itu tidak menjelaskan mengapa dia mengatakannya, dia hanya menunjuk pada cangkir kopi saya yang telah habis sembari mengambil sebatang rokok di sebelah cangkir tersebut kemudian menyulutnya.


Saya, Antara (Penjara) Mahasiswa Amatir dan Mahasiswa Akademis
Saya tahu dengan pasti, ketika semester ini memilih untuk menempuh seluruh SKS yang diijinkan, 24 SKS, maka saya akan kehilangan banyak waktu untuk melakukan hal lain. Ya, saya juga sedang berproses di tempat lain, di tempat yang tidak lagi menghitung setiap ilmu yang sedang coba untuk didapatkan dengan SKS. Hitungannya tidak lagi SKS, namun detik demi detik masa kehidupan.

Sejatinya pilihan tersebut juga berasal dari terma mahasiswa akademis yang masih coba saya raih. Ya, sebagian besar teman-teman saya telah menyandangnya. Dengan deretan nilai A dan sedikit B di transkrip perkuliahannya, mereka dapat berjalan dengan tegap dan mantap di koridor kampus. Bercanda dengan teman-teman akrab yang juga mahasiswa akademis, kemudian bertukar lagu lewat bluetooth dan saling memotret. Saya cuma bisa saya bayangkan adalah cerahnya masa depan mereka.

Ada juga sebagian kecil teman saya, sebutlah mahasiswa amatir. Mereka bisa dibilang malas kuliah, seringkali berbincang seputar diri mereka, sambil kemudian tertawa dengan sangat keras. Diri mereka yang bingung ketika sampai di kampus, diri mereka yang khawatir saat banyak orang tidak bisa sampai di kampus, diri mereka yang membaca buku di luar disiplin ilmunya kemudian memperbincangkannya, (tebak saya) dengan maksud untuk menolak buku tersebut dan (ini yang paling sering) diri mereka yang marah lalu mengutuki lingkungannya. Sebenarnya ada juga tipe mahasiswa lainnya, namun perasaan saya pribadi, tipe-tipe tersebut tidak masuk perdebatan yang sedang berkecamuk di otak saya.

Akhirnya semua hal pilihan harus masuk ke dalam cabang konsekuensi. Tentu pilihan ‘A’ mempunyai konsekuensi pada sesuatu, katakanlah ‘F’ yang juga mempunyai konsekuensi pada ‘K’. Ini selalu terjadi beruntun, dan karena argumen saya barusan, saya bisa katakan bahwa tidak ada suatu yang murni kebetulan. Ini yang saya sadari akhir-akhir ini. Ketika saya memilih untuk menempuh 24 SKS misalnya, mau tidak mau saya harus menerima konsekuensi waktu ngopi dan maen PS saya hilang, meski tidak semuanya. Jika waktu ngopi hilang, otomatis waktu saya berinteraksi dengan teman ngopi saya juga hilang, dan aliran informasi serta diskusi yang dilakukan saat ngopi juga hilang, dan seterusnya. Pun demikian sebaliknya, selalu ada konsekuensi yang saya tanggung untuk hal yang saya pilih dan lakukan jika tidak mengambil semua SKS yang tersedia.

Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa saya juga berproses di tempat lain. Proses di tempat tersebut tidak dimaknai dengan nilai, itu yang membuat saya memilihnya. Ini juga yang menyebabkan kenapa saya sampai membuat tulisan ini. Tambahan kata penjara yang saya beri kurung di sub-judul saya maksudkan untuk sejumlah konsekuensi tersebut, namun bukan untuk pencabangannya. Menentukan pilihan berarti memilih penjara mana yang saya ingin tempati, atas segala “kejahatan” saya. Pilihan untuk menjadi mahasiswa amatir atau mahasiswa akademis. Pilihan untuk coba menjawab sebuah pertanyaan, siapa saya?


Tentang Mahasiswa Amatir, Setelah (Penjara) Itu…
Awalnya di sub-judul ini saya ingin sekali melakukan serangkaian kritik pada penyakit mahasiswa. Tentang konsumerisme, pacaranisme, hedonisme, modernisme, teknologiisme, dangkalisasi pemikiran, digitalisasi, dan banyak lagi “patologi” yang selalu menjadi pembicaraan teman-teman mahasiswa amatir di warung kopi. Penyakit-penyakit tidak tampak yang semakin menggerogoti makna paling dasar dari idealisme mahasiswa, yang tidak terasa prosesnya namun dampaknya membuat kita semua dalam jangka panjang “terbunuh.” Selang lama saya berpikir, toh saya juga terkena sebagian dari penyakit tersebut dan masih mencari cara untuk sembuh, jadi munafik sekali saya kalau sub-judul tersebut sampai jadi. Oleh karenanya, daripada mengkritik sebagian diri-sendiri, lebih baik saya menceritakan orang-orang yang mungkin tepat untuk mengkritik saya.

Mahasiswa amatir, yang saya kagumi dari mereka adalah semangat penolakan mereka atas hal yang harusnya (atau lebih tepat, biasanya) dilakukan. Tentu mereka melakukannya dengan sadar. Ini butuh waktu yang lama, pikir saya. Seringkali pembicaraan mereka dimulai dari hal-hal aneh (karena jarang dibicarakan) tapi “pada umumnya”, seperti alam, puisi, hujan, sandal, bahaya, lagu, dan banyak lainnya. Kemudian pembicaraan berlanjut hingga persoalan “besar” seperti sistem pendidikan, ekonomi dan politik negara sampai perdebatan filsafat. Kebanyakan obrolan ini berlangsung spontan dan tanpa rencana, mengalir begitu saja tanpa batas. Dan biasanya berakhir dengan pisuhan, tawa keras, dan renungan.

Hampir semua dari mereka berasal dari organisasi mahasiswa. Asumsi awal saya yang berasal dari obrolan-obrolan tersebut, kesadaran yang muncul itu, kesadaran untuk membahas sedemikian banyak tema tersebut tidak mungkin bangkit dari bangku-bangku kelas. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk menilai bahwa ikut organisasi mahasiswa sama dengan sadar akan permasalahan. Namun, sedikit banyak akan mempengaruhi, atau singkatnya sebagai pembentuk kesadaran. Organisasi mahasiswa yang saya maksudkan disini bukan hanya organisasi mahasiswa yang turun ke jalan, yang mengobarkan idealismenya dengan megaphone. Karena saya pribadi memaknai idealisme jauh lebih luas dan mendalam daripada hal-hal tersebut. Satu lagi, nilai-nilai “ideal”isme bagi kita mungkin berbeda.

Saya merasakan proses penyadaran tersebut sendiri, tidak sekedar melalui cerita-cerita kepahlawanan para mahasiswa yang meruntuhkan orde lama dan baru misalnya. Oleh karena itu, saya bisa mengatakan bahwa apa yang saya dapat di perkuliahan formal tidak lebih banyak dari yang saya dapat dengan berproses di tempat lain. Proses penyadaranpun sebagian besar dilakukan dengan sukarela, tidak terikat jadwal, dan saya bisa memilih untuk “sadar” perihal apa terlebih dahulu. Sedangkan di ruang-ruang kelas? Bahkan untuk merasa nyaman saja saya kesulitan.


Refleksi Aktor dan (Penjara) Rasionalitas
Bekal akal-penalaran yang saya miliki mempunyai andil besar dalam sebagian besar pilihan yang saya buat. Mungkin kita semua begitu. Oleh karena itu, manusia bisa dikatakan sebagai aktor yang rasional. Rasional karena selalu ada perhitungan untung-rugi dalam setiap tindakannya. Dan pada umumnya, saya dan mungkin kita memilih melakukan sesuatu yang memberikan keuntungan lebih banyak dari kerugiannya, meski sangat tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sebaliknya. Namun tidak semua untung-rugi ini bisa dihitung secara ekonomi, seperti kepuasan diri misalnya. Saya mengambil 24 sks, tentu saja keuntungannya beban sks saya akan cepat habis, kemudian magang/KKN, dan lulus. Kerugiannya, saya kehilangan banyak waktu untuk tidur, ngopi, dan menjalani proses kreatif dan penyadaran di luar kelas. Ini sering terjadi saat saya akan dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda.

Seorang rekan, kakak sekaligus guru saya pernah menceritakan tentang dua orang Amerika yang sedang berdebat panas masalah rasionalitas manusia. Seorang mengatakan rasionalitas, atau yang biasa disebut logika rasional, adalah bawaan alamiah manusia. Sehingga hal itu bagaimanapun dan apapun konteksnya, akan tetap dilakukan. Tentu saja manusia tidak ingin melakukan suatu hal yang merugikan dirinya sendiri. Keuntungan harus dimaksimalkan dan dikejar terus-menerus.
Sedangkan yang seorang lagi menyebut logika kepatutan. Logika kepatutan ini terkait dengan norma dan terikat ruang-waktu. Orang itu mengatakan, rasionalitas memang penting, tapi itu tidak lebih penting dari apa yang disebut dengan kepatutan. Dia kemudian mencontohkan, kalau kita berkendara di malam hari yang sepi. Kemudian di satu sisi jalan ada lampu lalu lintas yang sedang menyala berwarna merah, logika rasional kemungkinan besar akan ‘memerintahkan’ untuk libas saja, daripada harus menunggu lampu hijau menyala, kan jalanan sedang sepi, tidak ada polisi, dan lain sebagainya. Namun logika kepatutan akan ‘melarang’nya, karena ada norma serta peraturan yang harus diperhatikan dan dilakukan. Dalam berbagai aspek, logika kepatutan ini sangat dekat dengan nilai-nilai ideal, hal-hal yang seharusnya dilakukan.

Orang ini juga menambahkan, logika rasionalitas itulah yang menyebabkan banyak petinggi negara kita melakukan korupsi, banyak pengusaha tidak membayar pajak dan melakukan pelanggaran hukum lainnya, dan banyak sekali mahasiswa (termasuk saya) memilih cepat lulus kuliah dan kemudian bekerja. Berusaha untuk diri sendiri tanpa sekerjap saja melakukan sesuatu (bahkan memikirkan saja tidak) untuk orang lain. Logika rasionalitas ini juga ikut andil dalam pergeseran pandangan para mahasiswa tentang kemahasiswaan itu sendiri, serta mengurangi bahkan menghilangkan idealisme (dalam maknanya yang luas dan mendalam) yang menurut logika kepatutan, melekat dalam diri mahasiswa. Idealisme untuk memilih mengorbankan sebagian waktu, uang, pikiran, dan bahkan jiwa-raganya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Melakukan sesuatu yang mungkin kecil, namun bermanfaat bagi khalayak umum. Melakukan suatu hal kecil yang mungkin bisa ‘mengobati’ sejumlah ‘penyakit’ di dirinya-sendiri (mahasiswa) dan masyarakat umum lainnya.

Pada titik ini, sering saya berpikir kalau saya hanyalah seorang romantisis-kronis. Seseorang yang menjalani serangkaian proses penyadaran kemudian menangis begitu sendu ketika melihat orang lain dianiaya, tidak bisa hidup layak, tidak bisa makan dan sekolah karena faktor finansial, tapi di sisi lain, saya tidak mau peduli kenapa dan bagaimana segala macam bentuk penganiayaan tersebut muncul dan terjadi berulang kali. Lama saya berpikir, ternyata saya menyadari bahwa tangisan tersebut hanyalah salah satu mekanisme perlindungan diri yang logika rasional lakukan untuk menghindari supaya diri saya tidak menangis di lain waktu.

Namun di titik yang sama, saya sadar, saya adalah narapidana di balik terali besi. Narapidana yang selalu dihadapkan pada pilihan untuk menunggu ‘vonis pengadilan’ atau menyelamatkan diri saya sendiri. Narapidana yang mampu mengatakan bahwa, “tidak ada benda pada benda itu sendiri, selalu ada benda lain di balik benda itu yang lain.” Serta yang menurut saya paling signifikan, narapidana yang mampu memilih secara sadar untuk mengobati ‘penyakit’ yang dideritanya. Seorang narapidana dalam dilema, yang rasional namun reflektif.[Pernah dimuat di Buletin Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesi (PPMI) Kota Jember Edisi April-Mei 2010]




Tulisan ini merupakan olahan dari sumber-sumber:
1. Dua paragraf pembuka :
a. Bab 4 buku ‘Handbook of International Relations’ yang dieditori oleh Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons. Terbit tahun 2002.
b. Buku monumental-klasik yang ditulis oleh Hans-Georg Gadamer yang berjudul ‘Philosophical Hermeneutics’, diterjemahkan oleh David E. Linge pada tahun 1976.

2. Sub-judul “Saya, Antara (Penjara) Mahasiswa Amatir dan Mahasiswa Akademis” :
a. Sub-judul ini Saya sangat terpengaruh oleh Brian Magee dalam bukunya yang berjudul ‘Memoar Seorang Filosof’, tahun 1997 dan edisi terjemahan Bahasa Indonesia terbit tahun 2005.
b. Dua buku yang sangat komprehensif membahas Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, serta Immanuel Kant yang kemudian membuat saya membatalkan niat Saya untuk meng”kritik”, namun tetap menjadi salah satu semangat keseluruhan tulisan ini ditulis oleh Frederick Copleston, yaitu ‘A History Of Philosophy’ volume 4 dan 6 (Bagian II). Masing-masing terbit tahun 1963 dan 1964.

3. Sub-judul “Tentang Mahasiswa Amatir, Setelah (Penjara) Itu…” :
a. Buku idola para “remaja” yang ditulis oleh Soe Hok Gie, ‘Catatan Seorang Demonstran’, utamanya bab 4 dan 5. Buku ini terbit tahun 1995 (Cetakan kelima).

4. Sub-judul “Refleksi Aktor dan (Penjara) Rasionalitas” :
a. Kerangka utama sub-judul dan tulisan ini saya dapat dari Alexander Wendt, lewat tulisan-tulisannya yaitu, ‘Anarchy is What the State Make of It’ yang terbit di Jurnal International Organizations tahun 1992 dan tentu saja karya monumentalnya, ‘Social Theory of International Politics’ yang terbit tahun 1999. Mau tidak mau Saya mengakui bahwa selain kritik, tulisan ini juga sangat berbau bahkan bernafaskan ‘konstruktivisme sosial’ dalam ilmu hubungan internasional.
b. Tentang ‘romantisisme’, Saya menyandarkan terma ini pada Bab I ‘A History Of Philosophy’ volume 6 (Bagian I), tetap ditulis oleh Frederick Copleston tahun 1964.
c. Masalah interaksi/dialektika logika kesadaran Saya ambil dari ‘Mind, Self, and Society’ utamanya bagian 4, yang ditulis oleh George Herbert Mead tahun 1934, terbit lagi tahun 1972.
d. Mengenai logika kepatutan dan persentuhannya dengan hukum moral, sumber tulisan ini adalah ‘Critique of Practical Reason’ yang ditulis oleh Immanuel Kant terbit pertama kali tahun 1781, terbit lagi tahun 1956 dan edisi Bahasa Indonesia tahun 2005.

Cerita Cinta Manusia;


: Pertaruhan di Tengah-Tengah Realitas Destruktif Pasca-Psikonalisa


Tinjauan atas Buku:
Judul : Cinta dan Peradaban (Judul asli Eros and Civilization)
Penulis : Herbert Marcuse
Penerjemah : Imam Baehaqie
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun terbit : 2004 (Cetakan asli 1970)
Spesifikasi : xxxiii + 357 Halaman (11 Bab dan Epilog)





Diantara sedikit literatur yang pernah saya baca, mungkin inilah teks kedua yang paling menarik perhatian saya (setelah Manifesto of Communist Party Karl Marx, 1888). Ketertarikan saya pertama kali adalah saat membaca judulnya, Cinta dan Peradaban, seolah memancarkan tema yang ‘sangat penting’. Sebelum membaca isinya, saya membayangkan akan membaca cerita ‘cinta-cintaan’ dengan landasan kritis. Karena seperti yang kita sudah tahu, Herbert Marcuse sendiri adalah salah satu pendiri dari Mazhab kritis Frankfurt. Wah sungguh unik tentunya.

Buku ini dibuka dengan bab pengantar yang mengagetkan saya, karena jika kebanyakan buku biasanya hanya ada kata ‘Pengantar’ atau ‘Pendahuluan’, namun di buku ini ada tambahan kata Politis, sehingga menjadi ‘Pengantar Politis’. Muatan politis yang disadari sejak awal oleh Marcuse memang sejalan dengan kisahnya sebagai salah satu intelektual yang mendorong new-left movement pasca-Perang Dunia II. Salah satu gerakan politis yang melibatkan kaum-muda transnasional paling tersohor sampai sekarang. Gerakan yang sampai sekarang mungkin tidak muncul lagi, karena kapitalisme-liberal sudah menang. ‘The End of History…and The Last Man’ Ujar Fukuyama.


Prinsip Realitas dan Masyarakat Barbarian

Satu konsepsi yang bisa dikatakan melatari tesis Marcuse mengenai cinta dan peradaban adalah apa yang dia sebut sebagai ‘prinsip realitas’. Sejauh yang saya bisa katakan dari pembacaan saya atas buku ini, prinsip realitas adalah semacam pengembangan terjauh kemanusiaan yang bisa dijangkau menurut kemampuan manusia sendiri. Kombinasi dari individualisasi dan sosialisasi. Kaitan dan ikatan yang harmonis antara eksternalisasi dari nilai-nilai biologis serta internalisasi nilai-nilai sosial.

Kalau boleh saya sederhanakan. Jika ada semacam prinsip mengenai bagaimana kita akan hidup di dunia ini, dengan sekuat tenaga untuk memperbesar kesempatan hidup dengan menghadapi tantangan-tantangannya, maka itulah prinsip realitas. Namun sebelum sampai sana Marcuse mengingatkan kita bahwa, “Gagasan tentang Prinsip Realitas ini didasarkan pada asumsi bahwa prasyarat material (teknis) bagi pengembangan Prinsip Realitas telah tersedia ataupun dapat disediakan dalam masyarakat maju dewasa ini.” Syarat material ini beragam dan sebagian besar diantaranya benar-benar material, seperti tentu saja kemakmuran dan hal-hal yang kasat mata lainnya. Sebagian kecil lagi lebih intangible karena merupakan sebuah prakondisi macam kesadaran, kebahagiaan, dll.

Namun apa yang terjadi? Kita semua telah banyak melihat, mendengar dan merasakan bahwa dunia yang bebas dan kemajuan perangkat teknologi malah memutarbalikkan kemanusiaan hingga ke titik nadir. Marcuse mencontohkan dengan berderet segala macam kamp konsentrasi, pembunuhan massal, perang dunia, dan bom atom yang kemudian disingkat sebagai ‘kelahiran kembali barbarisme’. Dan sesaat setelah itu, Marcuse melanjutkan, “Dan penaklukan serta penghancuran manusia oleh manusia lain yang paing efektif, ironisnya, justru terjadi di puncak peradaban manusia, ketika capaian teknologi dan intelektual manusia nampaknya telah memungkinkan bagi pembangunan dunia yang benar-benar bebas.”

Apa yang menyebabkan serangkaian hal tersebut terjadi? Dengan tegas Freud sejak dahulu mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah penindasan manusia. Kebudayaan merepresi eksistensi sosial dan biologis manusia, bagian manusiawi dan instingtifnya. Memang merepresi aspek-aspek tersebut maka langkah peradaban akan tetap dapat bergerak, bertahan. Insting manusia jika dibiarkan sebebasnya maka akan sangat berpotensi untuk menghancurkan semuanya. Karena insting tersebut mempunyai tuntutan yang tidak pernah cukup sebagai tujuan dirinya sendiri, setiap waktu. Oleh karena itu maka kebudayaan layak untuk merepresi serangkaian insting tersebut, pada tingkatan tertentu, atau menghalang-halanginya untuk mencapai kepuasan yang tidak pernah habis. Menanggalkan manusia dari kebinatangannya. Inilah yang sejak dahulu Freud katakan sebagai peralihan dari prinsip kesenangan menuju prinsip realitas, pembelahan dua dimensi kehidupan manusia, yang sebagian besar membedakan antara kesadaran dengan ketidaksadaran.

Pengingkaran (represi dua ambivalensi manusiawi) ini kemudian berhadapan dengan kontradiksi internal di dalam diri individu-individu. Kebudayaan tidak pernah bisa membuat prinsip realitas menjadi lengkap dan utuh dan tidak bisa mematikan prinsip kesenangan seluruhnya. Prinsip kesenangan kemudian mengendalikan alam tak sadar manusia, yang otomatis sedikit demi sedikit mempengaruhi realitas di sekelilingnya.

Contoh kasar, taruhlah anda sejak awal benci dengan seorang pemimpin entah karena apapun (suatu prinsip kesenangan), namun anda menahan untuk melakukan tindakan karena aspek kebudayaan karena sistem demokrasi (aspek kebudayaan) merepresi kebencian anda serta menanggalkannya dengan adanya pemilihan umum setiap lima tahun. Namun di tingkatan tertentu, saat beberapa kali pemilu ternyata keadaan di sekitar anda masih sama saja, kebencian yang tertanan hingga dunia bawah sadar anda mau tidak mau akan muncul. Bentuk-bentuk seperti diskusi, demonstrasi sampai revolusi anti-pemerintahan adalah salah satu bentuk munculnya kembali sisi yang telah lama terpendam.

Marcuse dalam buku ini menyebutnya sebagai ‘kembalinya yang direpresi’. Kembalinya yang direpresi ini menghasilkan sejarah yang ditabukan dan bersifat bawah tanah. Oleh karena itu kemudian, dengan menyandarkan pada aspek tersebut, psikoanalisis individunya Freud juga berbentuk psikologi sosial. Penindasan adalah suatu fenomena historis. Pengingkaran yang efektif seperti dicontohkan sebelumnya, bukanlah instrumen alamiah namun digunakan oleh manusia itu sendiri, dalam selang waktu tertentu.


Kaitan Ontologisnya, Kemudian…

Sejak awal, Freud berusaha untuk menunjukkan bahwa Eros telah menciptakan kebudayaan dalam perjuangannya untuk melawan insting kematian. Namun yang terjadi sebaliknya. Kebudayaan yang mapan malah melahirkan destruktifitas, menyatakan kehancuran yang diarahkan pada pemberontakan terhadap satu hal, yaitu represi. Pemberontakan dan kehancuran ini selain menghancurkan, juga menandakan pentingnya sifat historis, batas validitas, dan nilai dari prinsip realitas.

Rasionalisme Cartesian mengawali masuknya peradaban manusia pada rasionalitas modern-ilmiah. Rasionalitas yang menuntun subyek agar mampu menjalankan transformasi rasional atas lingkungan dan manusia lainnya. Transformasi ini kemudian dilakukan paling banyak pada kemampuan individu yang lebih rendah: kemampuan panca indera dan selera. Terlihat bagaimana ketetapan represif masih terjaga.

Rasionalitas terus berjalan. Hegel kemudian mengukuhkan petualangan intelektual rasionalitas pada titik terbesarnya yaitu dengan menunjukkan validitas kategori dan prinsip pengaturan dunia yang absolut. Dan masih tetap sama saja, kesimpulannya adalah kepenuhan dan orisinalitas manusia sama dengan gagasan dan pengetahuan yang absolut. Ini pula yang menghasilkan pembenaran alienasi dan secara ambivalen ditolak dalam akal-budi universal. Perbedaannya hanya pada konkretisasi landasan historis filsafat dimana bangunan besar akal-budi dibangun. Dalam konteks perspektif ini, dunia mengalami titik nadir perjuangan Eros.

Lalu muncul lah Nietzsche yang mendobrak tradisi ontologis tersebut. Dengan kehendak-untuk-berkuasa dia membalik terma represif pada masa itu yang menjadikan represi dan pemiskinan sebagai kekuatan yang berkuasa serta agresif untuk mengatur eksistensi manusia. Digaris ini Nietzsche membuka berbagai kekeliruan pemikiran yang dibangun oleh filsafat dan moralitas Barat sejak Descartes, yaitu transformasi fakta empiris menjadi esensi dan kondisi historis menjadi asumsi metafisis. Kelemahan dan kesedihan manusia dipahat menjadi kejahatan dan rasa bersalah yang transenden, pemberontakan menjadi dosa asal, dan seterusnya. Nietzsche melampaui seluruh filsafat rasionalitas karena dia berbicara ‘mewakili’ prinsip realitas yang secara ontologis menentang prinsip peradaban Barat. Dalam barisan inilah kita juga menemukan Freud, metapsikoanalisisnya yang menutupi segala spekulasi metafisis dengan rasionalitas Eros. Namun itu hanya sesaat saja.


Peradaban Manusia diantara Pertentangan Psikoanalisis

Psikoanalisis sendiri, secara sinkronis maupun diakronis mengalami pertentangan di dalam tubuhnya sendiri ketika menganalisis kontradiksi manusia tersebut. Pertentangan ini memuncak ketika era liberal digadang-gadang akan membebaskan manusia ambruk, munculnya Perang Dunia, kembalinya yang otoritarian, serta runtuhnya upaya-upaya yang menangkal kecenderungan tersebut. Psikoanalisis kemudian meradikalkan cara kritik (utamanya kritik psikologis) terhadap sebagian capaian modern yaitu pada individu.

Dekade terus berganti, Eropa Timur dan Tengah menjalani masa-masa revolusionernya. Psikoanalisis-awal, yang memang sejak semula tidak berniat untuk ‘merubah’ mendapat banyak kecaman. Bahkan psikonalisis-awal dianggap hanya sebagai reaksi singkat. Freudian terkesan menganggap cita-cita sosialisme humanitarian tidak dapat dicapai dengan manusiawi. Akhirnya momentum tersebut muncul. Menurut Marcuse, Psikoanalisis terpecah menjadi sayap kiri dan kanan.

Sayap kiri mengonsentrasikan wilayah kajiannya pada hubungan antara struktur sosial dan struktur instingtif, yang nampaknya bersifat sirkular. Dimana represi seksual (instingtif) didorong dan dieksploitasi oleh kepentingan dominasi (struktur sosial). Di waktu lainnya, kepentingan-kepentingan dominasi dan eksploitasi didoroang dan diproduksi lagi oleh represi sosial. Sedangkan implikasi destruktif represi seksual sebagai dinamika historis tidak ditinjau secara kritis oleh sayap kiri ini. Serangkaian tesis tersebut akhirnya menghasilkan pembebasan seksual sebagai solusi bagi penyakit individu dan sosial. Akibatnya, inspirasi sosiologis yang menjadi poin penting menjadi tidak terkaji secara luas, malah memperluas kembali primitivisme.

Sisi seberangnya, sayap kanan mendapatkan juru bicara yaitu Carl G. Jung. Secara garis besar sayap ini membicarakan tentang aliran-aliran pemikiran interpersonal dan kultural. Yang banyak menjadi pandangan umum psikoanalisis dewasa ini. Lalu dengan mengutarakan tesis tersebut, sayap ini perlahan merubah teori psikoanalitik menjadi serupa ideologi. Manusia dicerabut dari personalitas keutuhannya. Capaian-capaian peradaban Barat yang selalu saja mengandaikan serta melestarikan ketidakbebasan dan penindasan juga menjadi solusi untuk menekan struktur instingtif manusia (mengambil cara Freud melihat dinamika historis peradaban sebagai sebuah tujuan!). Hal inilah yang kemudian menjadikan psikoanalisis-awal dan kedua aliran neo-revisionisnya menjadi bertentangan. Pertentangan antara filsafat psikoanalisis dan praktek terapis psikoanalisis. Ontologi dan metodologinya.


Perjuangan Cinta Manusia, Sebuah Perjuangan Tanpa-Akhir

Ketakutan saya saat meresensi atau mengulas sebuah literatur adalah ketidakmampuan saya untuk: merangkum seluruh poin penting, menghindarkan distorsi substantif yang terlalu besar (karena untuk sepenuhnya menghindarkan distorsi rasanya ya kok tidak mungkin), dan tidak terlalu menyederhanakan atau mereduksinya pada tingkatan tertentu. Kesemuanya bermuara pada kesalahpahaman terhadap buku ini. Oleh karena itu di paragraf berikutnya saya akan mencoba mengaitkannya dengan subyektifitas saya atas pecahan-pecahan esensi buku ini.

Marcuse dengan gamblang menjelaskan bahwa keseluruhan isi buku ini merupakan semacam ‘rekam jejak’ perjuangan manusia demi Cinta melawan kematian. Dan peradabanlah tempat perjuangan tersebut. Cinta disini (dan sudah selayaknya untuk selanjutnya) kemudian tidak dimungkinkan untuk dipahami sebagai cinta muda-mudi yang dangkal, remeh-temeh, dan personal seperti yang mungkin kita sering jalani beberapa saat belakangan. Cinta menurut Marcuse adalah oposisi bagi segala sesuatu yang bersifat destruktif, atau lebih jauh lagi berlawanan dengan peradaban yang mematikan. Namun bukan kematian itu sendiri. Peradaban yang mematikan mengendalikan banyak sekali perangkat untuk terus memperpanjang umur manusia. Manusia berjuang untuk mendapatkannya. Manusia berjuang demi Cinta untuk memperpanjang jalan menuju kematian. Dengan terus membangun harmonisasi antara insting dan alam.

Perjuangan ini secara alamiah menuntut kita sebagai kaum muda untuk berada di garis depan. Baru kaum intelektual. Sistem yang berkuasa sekarang terus memelihara struktur yang destruktif bagi kemanusiaan. Pengorganisasian sistem tersebut harus dilawan dengan pengorganisasian tandingan. Kaum-muda sejatinya harus menyadari bahwa ini adalah pertaruhan hidup, bernafaskan perjuangan demi eros dan merupakan perjuangan politis. Segala macam diskusi, demonstrasi, dan bahkan revolusi tidak akan pernah berhenti selama sistem tersebut tetap berkuasa. Karena kembali lagi, perjuangan ini adalah perjuangan biologis bermuatan politis. Karena hidup kitalah (kaum-muda) yang dipertaruhkan. Dan kalaupun kita masih bisa hidup, maka kesehatan mental dan kapasitas kita sebagai individu yang utuh yang akan dicerabut dan dibunuh. Akhir kata, sadarlah kaum-muda! []

Kiri (Tengah), Kiri (Jauh), dan Kiri

Setelah reformasi, diskursus dan pewacanaan tentang semua yang berbau “kiri” menjadi tidak seseksi sewaktu Soeharto masih berkuasa. Termasuk di kalangan mahasiswa. Wacana kiri, sepertinya dianggap tidak lagi relevan dengan wacana pendidikan yang (katanya) progresif itu, meskipun seperti yang kita pahami bersama, sistem pendidikan masih tak karuan bentuk jiwa dan raganya. Hanya ada segelintir “oknum” mahasiswa yang berani menyuarakan ke-kiri-annya dengan lantang dan secara kontinyu. Akhirnya, pertanyaan seperti yang tertulis di sub-judul tulisan ini mengemuka, kiri, apakah masih tetap seksi?

Sebelumnya perlu ditelisik terlebih dahulu bagaimana istilah “kiri” akhirnya menjadi sebuah kata ideologis dan sarat makna. Sumber yang paling banyak ditemui percaya bahwa asal-usul “kiri ideologis” berawal dari Revolusi Perancis di medio abad-18, ketika sistem pemerintahan monarki absolut telah runtuh akibat adanya kudeta dari rakyat Perancis yang selama ratusan tahun diperintah oleh raja-raja Louis. Akibatnya, untuk menemukan bentuk baru sistem pemerintahan Perancis, dikumpulkanlah perwakilan-perwakilan rakyat Perancis untuk berkumpul di sebuah gedung (kita sebut saja gedung parlemen).

Para wakil rakyat yang hadir di parlemen memiliki perbedaan wacana tentang apa bentuk sistem pemerintahan Perancis tersebut. Sebagian (bisa diidentifikasi sebagai para kerabat dan borjuis kerajaan) yang memilih untuk mempertahankan sistem monarki absolut duduk di sisi kanan ketua parlemen waktu itu dan sebagian lainnya (para pemberontak dan pejuang kudeta kerajaan) memilih untuk meninggalkan wacana pemerintahan absolut karena terbukti membawa penderitaan bagi rakyat Perancis dan mewacanakan dibentuknya sistem pemerintahan negara republikan. Mereka duduk di sisi kiri ketua parlemen. Dari sana muncul sebutan sayap kanan konservatif (status-quo) dan sayap kiri revolusioner (anti status-quo).


Karl Marx, Awal Kiri atau Kiri Awal?
Istilah kiri tentu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx tentang dunia dan masyarakat. “Filsuf itu bisanya cuma menafsirkan dunia, padahal yang penting adalah merubahnya!” Kata Marx. Adalah sebuah kritik yang menyengat pada tatanan kefilsafatan yang sudah mapan pada saat itu. Akhirnya muncullah paham Materialisme Dialektika Historis, atau biasa disingkat MDH. Marx menggabungkan pemikiran Hegel tentang dialektika roh absolut dan materialisme Karl Feurbach. Materialisme dialektis sebagai landasan ontologis Marx menjelaskan bahwa semangat
zaman seluruh kehidupan manusia adalah tesis-antitesis-sintesis (dialektika Hegelian) antara relasirelasi produksi ekonomistis. Dimulai dengan komunal primitif manusia purba di mana semua faktor produksi dimanfaatkan bersama, kemudian zaman melangkah menuju sistem feodalis ketika tanah mulai dipetak-petak dan diprivatisasi, yang menjadi relasi antara tuan dan penggarap tanah. Zaman feodalis kembali bergerak “maju” pada sistem industri awal, yaitu hubungan antara majikan-buruh, berlanjut pada sistem kapitalisme lanjut yang merupakan relasi antara kaum borjuis dan proletar. Ketika kesadaran kelas kaum proletariat sudah tumbuh dan mapan, sampailah pada tatanan yang diidam-idamkan oleh Marx, yaitu Komunis.

Sedangkan di tataran epistemologi atau bagaimana cara Marx mengetahui dunia, Marx mengungkapkannya sebagai Materialisme Historis. Dunia dimaknai Marx adalah dikotomi antara basis (infra) dan supra struktur. Basis struktur adalah relasi-relasi ekonomi (seperti yang telah diulas di paragraf sebelumnya) yang menjadi landasan bagi kehidupan manusia. Sedangkan supra struktur adalah seluruh aktivitas ideologis (politik, agama, hukum, seni, dll.) yang sepenuhnya terpengaruh oleh apa-apa yang terjadi pada basis struktur. Ini yang kemudian disebut determinisme ekonomi. Dalam arti, segala yang terjadi pada hubungan kemanusiaan adalah ekses dan dampak dari kehidupan ekonomi manusia itu sendiri.

Sistem kefilsafatan pada masa aufklarung yang bertepatan dengan Revolusi Industri telah termapankan oleh pemikiran-pemikiran Descartes, Kant, dan Hegel dimaknai Marx hanya sesuatu yang tidak berguna bagi dunia, karena bergerak pada tataran pemikiran saja, bukan in action. Rasionalisme Cartesian, Kritisisme Kant sampai Idealisme Hegel dianggap membicarakan hal-hal hanya pada tingkat abstraksi dan absurditas. Karena memang, subjek dan objek pemikiran orang-orang yang telah disebutkan di atas adalah cogito, being, idea dan roh, yang oleh Marx, tidak menemukan bentuk materinya.

Selain itu, karena pada saat itu Marx melihat manusia tidak lagi sebagai manusia, namun sebagai buruh. Marx melihat buruh pada masa itu adalah korban fisik dari pemikiran-pemikiran Kapitalisme. Bagaimana manusia menjadi terasing (teralienasi), atau lebih tepat diasingkan dari tubuhnya. Hal tersebut menjadi bukti ketidakberdayaan buruh melawan sistem besar kapitalisme-industrialisme.

Ketika kondisi buruh-buruh tersebut semakin parah, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya clash of class, pertarungan kelas. Kelas buruh dan proletar tidak lagi hanya diam saja melihat dirinya ditindas. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah dieksploitasi oleh para kaum majikan-borjuis. Bagi Marx, Di situlah kemudian revolusi menjadi satu-satunya jalan. Karena kaum buruh tidak akan kehilangan apapun pada waktu revulosi komunis, kecuali belenggunya, seperti ujar Marx, “… They openly declare that their ends can be attained only by the forcible overthrow of all existing social conditions. Let the ruling class tremble at a Communistic revoluiton. The proletarians have nothing to lose but their chains. They have a world to win. WORKING MEN OF ALL COUNTRIES, UNITE!” Karena penindasan harus dilawan dengan pukulan nyata. Hanya dengan itu maka eksploitasi buruh oleh majikan, proletar oleh borjuis dapat dihentikan, menuju sebuah satu dimensi dunia yaitu komunisme.

Akhirnya bangunan wacana “kiri’ pada masa itu dimengerti sebagai sebuah perjuangan kelas. Buruh melawan majikan, proletar melawan borjuis, yang ditindas melawan penindas. Perjuangan dengan kekerasan, yang kemudian terejawantahkan dalam sebuah tindakan nyata di Rusia. Revolusi Bolshevik, pimpinan Lenin yang meruntuhkan kekaisaran Tsar Nicholas tahun 1917.


Menulis Ulang Ceceran Jejak Marx
Setelah kematian Marx, banyak orang mengklaim pemikirannya adalah penerus pemikiran Marx, atau biasa disebut Marxis. Perbedaan menjadi niscaya, bahkan di antara para Marxis tersebut. Distorsi antar pemikir Marxis menjadi semakin jelas dan nyata, bahkan per distorsi tersebut, menimbulkan sebuah aliran baru, yang juga Marxis.
Sebagai “pelaksana” pemikir Marx, Vladimir I. Lenin di Rusia mungkin orang yang paling taat (setelah F. Engels tentunya) di antara marxis lainnya. Tulisan-tulisannya tentang eksistensi negara, revolusi dan perjuangan kelas serta keberhasilan perjuangan kelas yang diterjemahkannya lewat partai komunis memperlihatkan dengan jelas. Sebutan pengikut marxisme ortodoks melekat di bahu Lenin.

Di Italia, dikenal Antonio Gramsci yang mengungkapkan konsep “hegemoni”. Hegemoni menurut Gramsci menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara–negara kota (polis atau citystates) secara individual, terhadap negara kota lainnya. Contohnya Athena dan Sparta. Dewasa ini, arti hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dan dominasi. Kepemimpinan dilakukan atas segenap sekutu dan dominasi dilancarkan kepada seluruh musuh–musuhnya. Hal ini dilakukan dengan cara–cara seperti kekerasan, agitasi, produksi wacana atau propaganda, dan lainnya. Bagi Gramsci, seorang pemimpin akan memperoleh supremasinya melalui dua cara yaitu dominasi, koersif serta kepemimpinan intelektual dan moral. Singkatnya hegemoni Gramsci ialah gabungan antara paksaan dan kesukarelaan. Di sinilah pisau analisis marxis bertambah lagi.

Louis Althusser dari Perancis juga tidak boleh terlewat untuk menyelami pemikiran kontemporer Marxis. Althusser menerjemahkan pemikiran Marx lewat ISA (Ideology State Apparatus) dan RSA (Repressive State Apparatus). Artinya, ada dua buah aparatus negara bertindak mengkooptasi terhadap warga-masyarakatnya, yang bergerak dengan aktivitas represif (terwakili oleh militer) dan ideologis (perangkat-perangkat “lunak” macam keluarga, instistusi sosial, dll). Althusser melihat penindasan borjuis (yang direpresentasikan lewat negara) tidak hanya dengan jalan kekerasan yang memenjarakan tubuh, tapi juga seputar jalan ideologis yang menekan otak-jiwa yang ditindasnya.

Dalam perkembangannya, aliran pemikiran Marxis menjadi banyak (bahkan sangat banyak) sekali. Bahkan, pengklasifikasiannya pun menjadi banyak. Para pemikir kontemporer tidak selalu mengambil intisari pemikiran Marx. Namun ada yang mengambil karakteristik perlawanan terhadap zaman (seperti Mazhab Frankfurt) sampai memadukannya dengan semangat filsafat anti-modernisme (Michel Foucault). Melebar-luasnya wacana kiri, selain karena dinamisasi semangat zaman, juga karena tuntutan manusia dan kompleksitas permasalahan yang ada di dunia. Itulah realitas yang berkembang di era kekinian.


Mahasiswa Kiri?!
Diskursus kiri seolah nampak tidak relevan lagi di kampus kekinian. Kebebasan media informasi dan perkembangan teknologi membuat mahasiswa sebagai penggerak kritisisme menjadi terbuai. Kesadaran kritis dan budaya baca-diskusi hanya menjadi seonggok sampah di pinggiran kehidupan kampus mahasiswa. Hadirnya wacana literer kiri yang terlanjur menjadi “aib” juga masih dianggap haram di era demokrasi-liberalisasi ini. Pun demikian dengan semangatnya, menjadi ikut tabu untuk diamini.

Ternyata kebebasan demokrasi hanya terbatas pada dirinya sendiri. Non-demokrasi liberalisme adalah non-sense. Meskipun, dari kacamata pribadi saya sebagai mahasiswa, di satu sisi demokrasi menjanjikan kebebasan dan sedikit kebaikan. Namun di sisi lain juga menyimpan keterbatasan dan segudang kebusukan.

Tulisan ini tidak bertendensi untuk mendewakan seorang manusia, namun pemikiran yang telah tersedia di atas nampaknya bisa dijadikan (tidak hanya) sekedar pembicaraan anget-anget telek pitik atau semacam wacana miskin realita. Perubahan harus terus dilakukan, dinamisasi zaman harusnya dipelopori dari dalam kampus. Sebagai panggung intelektualitas, aktor-aktornya paling tidak harus paham bahwa label yang disandangnya bukan label kosong.

Semangat Marx sampai Foucault tentang anti-penindasan dapat menjadi pelecut kita sekalian untuk tetap “kiri.” Kiri dalam arti tetap siap menentang rezim yang korup dan praktek-praktek hegemonik yang kian hari kian akut. Seperti mahasiswa terdahulu yang dengan berdarah-darah menantang peluru. Meskipun saya juga meyakini bahwa kekerasan tidak hanya bisa dilawan dengan revolusi kekerasan, tapi juga revolusi pemikiran. Oleh karena itu, di akhir tulisan ini, dengan sisa semangat yang masih ada, mari kita pertajam perlawanan, karena sistem yang terlihat dan berjalan selalu bisa dilawan dan diubah, menjadi lebih baik untuk kita semua. Atau jika memang berkeras hati untuk berdarah-darah, saya akan kutipkan kata-kata Ken Budha K., “Maka, hanya ada dua jalan terbuka bagi kita: jalan yang revolusioner atau menyerahkan kepala untuk dipancung. Itu saja.” Akhir kata, selamat memilih jalan kiri, yang anda anggap paling seksi. [Pernah dimuat di Buletin Merah Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) Kota Jember edisi November]



Referensi dan bahan tulisan ini saya sandarkan pada:
1. PJTL PPMI Jember yang dilaksanakan di UPM Milenium STAIN pada saat materi “Analisis Sosial” dengan pemateri Dwi Pranoto, tanggal 31 Juli 2009.
2. Diskusi di LPM Alpha FMIPA Unej yang mengambil tema “Terminologi Kiri” bersama Cak Usman dan Mas Dwi Pranoto tanggal 7 Agustus 2009.
3. Jurnal Bersatu. Kapitalisme dalam Krisis, 2009.
4. Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, 2007.
5. Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, 1999.
6. Frans Magnis-Suseno. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, 1987.
7. F. Budi Hardiman.
a. Filsafat Fragmentaris, 2007.
b. Kritik Ideologi, 1993.
8. Karl Marx. Manifesto of the Communist Party (English edition edited by Friedrich Engels), 1888

Kritik (dari) Masyarakat Deliberatif



Tinjauan Terhadap Buku-Buku FB Hardiman:


Menuju Masyarakat Komunikatif
Kanisius
288 Halaman

Demokrasi Delibratif
Kanisius
246 Halaman


Kritik Ideologi
Kanisius
236 Halaman


Perkembangan manusia, utamanya di ranah pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat ditelisik ketika orde Barat mengumumkan diri mereka masuk ke dalam masa “modern”, yang ditandai dengan bergeraknya akal-budi manusia dari yang semula berpusat-pada-gereja menjadi berpusat-pada-manusia. Pengaruh agama (Kristen) mulai memudar perlahan, singkatnya, pandangan agama menjadi semakin tidak dipercaya.

Renaisans lewat Descartes hingga memuncak pada kaum positivis di masa pencerahan, paradigma pemikiran filosofis yang bertumbuhkembang seolah melepaskan manusia dari kepentingannya. Ilmu pengetahuan menjadi ada di-luar manusia. Bebas dari subyektifitas. Ini diakibatkan salah satunya, oleh integrasi metode-metode ilmu alam yang masuk ke ilmu sosial. Sistem yang kemudian terbentuk dari pemikiran-pemikiran tersebut malah 'menindas ' manusia dari kemanusiaannya. Ini terjadi karena penerus kaum positivis (antara lain neopositivisme lingkaran Wina, lingkungan linguistik Oxford, kaum determinisme ekonomi Marx, dst. juga masuk ke dalamnya) mencoba menjadi sistem filsafat yang universal. Akhirnya, pola-pola 'kebenaran' tersebut diyakini menjadi bebas-nilai, seperti hukum Tuhan.

Tentu saja, ada pihak-pihak yang menolak dengan keras beragam percobaan tersebut. Salah satu yang paling termasyhur adalah barisan pemikir kelahiran Jerman yang muncul dari Institut Penelitian Sosial di Frankfurt. Pemikiran-pemikiran mereka seringkali disebut juga sebagai Mazhab Frankfurt. Mereka memiliki beberapa proyek sistematis yang secara berkelanjutan dimunculkan.


Kritik-Ideologi

Generasi pertama dari para pemikir ini dimotori oleh Max Horkheimer (selain itu ada Theodor Wisendrund-Adorno, Herbert Marcuse, dll.) yang sekaligus menjabat sebagai direktur penelitian Institut Penelitian Sosial sejak 1930. Mazhab Frankfurt berawal dari sebuah artikel yang sangat panjang dari Max Horkheimer dan Theodor Wisendrund-Adorno berjudul Traditional and Critical Theory. Ditilik dari judulnya, nampak terlihat bahwa kedua orang tersebut berusaha untuk membelah 'teori' menjadi 2, yaitu teori tradisional dan teori kritis.

Teori-teori yang bersifat positivis, atau seluruh teori yang menggunakan metode empiris-analitis oleh mereka dimasukkan ke dalam teori tradisional. Teori ini menurut mereka, mengacu pada proyek penyatuan seluruh ilmu pengetahuan di bawah satu payung, yaitu positivisme itu sendiri. Mereka melihat adanya selubung ideologis yang dimiliki oleh teori tradisional ini. Teori tradisional secara substantif tidak memberikan kesempatan untuk sebuah perubahan mendasar pada tatanan masyarakat yang dalam berbagai aspek mereka lihat malah menindas. Mereka juga memandang, teori ini melumpuhkan kritik-kritik radikal seperti yang telah dibangun banyak filsuf sebelumnya. Singkatnya, hal inilah yang mereka anggap sebagai, 'pelestarian status-quo masyarakat yang menindas tanpa keinginan sedikitpun untuk merubahnya.

Sedangkan teori kritis, adalah sekumpulan teori-teori yang menganut paradigma kritik dengan metode dialektikaterbuka, berbeda dengan dialektika-tertutup yang dikembangkan oleh Marx dan Hegel sebelumnya. Dialektika-terbuka ini mecari adanya kontradiksi pada kenyataan konkret, sehingga memungkinkan adanya perubahan mendasar pada sistem kemasyarakatan yang dianggap menindas. Oleh sebab itu, Teori kritis bisa dikatakan tidak mencoba untuk memisahkan diri dari kepentingan manusia, malah mencoba untuk mengakomodirnya (praksis). Selain itu teori kritis secara otomatis menjadi praksis karena sifatnya yang tidak melepaskan diri dari konteks sejarah tertentu, berbeda dengan teori-teori tradisional yang 'bisa' lepas dari konteks sejarah apapun karena dianggap bisa digunakan kapanpun, bagaimanapun, dan oleh siapapun (bebas-nilai). Sejak awal dikumandangkannya, teori kritis memang menganggap dirinya tidaklah bebas nilai namun memihak, dan karena memihak, maka teori kritis dapat dikatakan bertujuan, yaitu pembebasan manusia dari perbudakan dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya.

Seringkali, karena kritik mereka atas kondisi masyarakat yang menindas pada saat itu, Mazhab Frankfurt dianggap sebagai kaum neo-Marxis. Anggapan ini benar meski tidak seluruhnya, sebagian dari generasi pertama teori kritis ini banyak menggunakan pemikiran Marx tentang masyarakat namun dikontekstualisasikan dengan spektrum berpikir mereka yang juga menentang kajian ilmiah penafsiran Marx yang ekonomi positivistik, dan pada titik inilah mereka juga sering disebut 'Marxis yang murtad'.

Kebuntuan ini kemudian baru mendapat pemecahan setelah munculnya Jurgen Habermas, yang seringkali disebut sebagai generasi kedua teori kritis dengan paradigma komunikasinya. Selain itu Habermas juga mengkritik paradigma pemikiran yang ada di masanya, sama seperti para pendahulunya. Habermas membagi 3 arus utama pemikiran yang berkembang di masanya itu, yaitu ilmu empiris-analitis (sains), historis-hermeneutis (ilmu sosial), dan yang dia anut yaitu ilmu kritis.

Kepentingan ketiga aliran ilmu tersebut berbeda secara mendasar. Ilmu empiris-analitis memiliki kepentingan teknis, ilmu historis-hermeneutis memiliki kepentingan praktis, dan ilmu kritis memiliki kepentingan emansipatoris. Habermas menganalisis bahwa kepentingan yang dimiliki oleh ilmu empiris-analitis dan historis-hermeneutis tidak mengijinkan segenap anggota masyarakat beremansipasi, karena mendasarkan pada rasio yang berkehendak untuk membebaskan diri dari kendala-kendala alamiah dan interaksi sosial, itu akibat dari 'penyelewengan' mereka terhadap kebutuhan intersubyektif-emansipatoris yang terdapat pada ilmu-ilmu kritis.


Masyarakat Komunikatif

Selain menelanjangi selubung ideologis teori tradisional lewat teori kritis, sumbangsih Mazhab Franfurt juga terdapat pada kritik mereka terhadap rasio masyarakat pos-industri. Rasio masyarakat pos-industri menurut mereka, tidak lebih sebagai mitos yang ada pada masa-masa sebelum pencerahan muncul. Pengelolaan manusia yang didasarkan pada kalkulasi ilmu pengetahuan dengan masif membuat manusia seperti robot yang hanya memiliki satu dimensi dalam hidupnya. Terma satu dimensi ini muncul setelah Marcuse menganalisis kondisi masyarakat pascapencerahan yang malah memunculkan perbudakan diantara manusia.

Kemudian, perbudakan ini tidak dapat dipecahkan lewat pemikiran praksis generasi pertama karena mereka masih menganut praksis kerja. Artinya, ketika rasio kritis seperti yang dimunculkan oleh generasi pertama teori kritis ini mengalami pergerakan, maka harus dikonkretkan lewat kerja. Sedangkan kerja, seperti yang telah terjadi sebelumnya, akan menimbulkan perbudakan, dan begitulah seterusnya. Tidak berhenti. Ini yang kemudian membuat generasi pertama teori kritis menjadi pesimistis dan menemui jalan buntu.

Habermas menganalisis bahwa kondisi masyarakat pos-industri telah kehilangan apa yang disebutnya dengan konsensus bebas dominasi. Karena relasirelasi masyarakat yang terbentuk hanyalah relasi kerja, tanpa relasi komunikatif. Pencapaian konsensus tersebut bisa dicapai dengan prasyarat adanya masyarakat yang cerdas dan berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Komunikasi ini dikatakan memuaskan apabila para partisipan di dalamnya berhasil memahami maksud lawan bicara dengan berusaha mencapai klaim kesahihan (validity claims). Unsur-unsur klaim tersebut terdapat dalam empat bentuk yaitu, klaim kebenaran (truth claims), klaim ketepatan (rightness claims), klaim autentisitas (sincerity claims), dan kemudian membentuk klaim komprehensibilitas (comprehensibility claims). Sedangkan masyarakat yang mampu mencapai keempat klaim tersebut disebut memiliki 'kompetensi komunikatif'.

Masyarakat yang diidamkan oleh Habermas bukanlah masyarakat yang melakukan revolusi kekerasan untuk mencapai tujuannya, melainkan lewat argumentasi. Argumentasi ini terbagi menjadi 2. Jika ingin mencapai sebuah konsensus rasional, maka digunakanlah diskursus dan jika ingin merefleksikan norma-norma maka digunakanlah kritik, atau tepatnya ujar Habermas, kritik estetis. Kritik yang kedua adalah kritik terapeutis yang singkatnya digunakan untuk menguji pengungkapan-diri para partisipan yang ikut berkomunikasi. Jika kemudian syarat-syarat tersebut digunakan dengan tepat, maka klaim-klaim yang dibutuhkan untuk membentuk masyarakat komunikatif yang mencapai konsensus rasional dapat tercapai.

Tentu saja, perkembangan rasio masyarakat (publik) sangat erat kaitannya dengan politik. Republik secara harfiah saja juga berarti urusan publik (res-publica). Perkembangan negara-negara modern dalam perspektif Habermas, masih kurang radikal ketika berbicara tentang demokrasi. Demokrasi yang dianut masih berbasis 'kerja' bukan komunikasi. Sedangkan seperti yang telah disebut diatas, bahwa emansipasi baru tercapai apabila adanya masyarakat yang benar-benar komunikatif. Sedangkan apabila praktek-praktek demokrasi masih memunculkan adanya represi dan lain sejenisnya, maka Habermas menyebutnya sebagai krisis legitimasi. Krisis ini berada di dunia politik tapi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sosial manusia karena pemerintah mendapat legitimasinya secara tidak benar sehingga sistem sosial seperti mengidap penyakit.

Dunia sosial sendiri dalam pandangan Habermas terbagi menjadi dua paradigma, yaitu dunia-kehidupan dan sistem. Kalau peristiwa-peristiwa sosial dianalisis dari sudut pandang ketergantungannya pada fungsi integrasi sosial maka kita menggunakan paradigma dunia-kehidupan. Sedangkan kalau menganalisis ketergantungan peristiwa sosial pada integrasi sistem, kita menggunakan paradigma sistem. Kedua paradigma tersebut dapat digabungkan untuk menanggulangi demokrasi yang dianut kebanyakan negara modern menjadi sebuah demokrasi radikal atau demokrasi deliberatif.


Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif seperti yang telah ditulis sebelumnya, pada dasarnya merupakan radikalisasi pada demokrasi dengan mengandaikan pada intersubyektifitas para partisipan dalam masyarakat komunikatif. Mencapai demokrasi deliberatif tidak semudah yang dibayangkan, ini dapat dilihat ketika Habermas merumuskan apa yang disebutnya sebagai ruang publik hingga demokrasi proseduralistiknya.

Habermas sebenarnya tidak secara langsung menawarkan demokrasi deliberatif sebagai tujuan akhir dari segala permasalahan sosial dewasa ini. Dia terlebih dahulu menjelaskan teori diskursus sebagai acuan untuk membentuk konsensus rasional, yang mengaitkan antara rasio dan tindakan komunikatif di dalam tubuh masyarakat. Teori diskursus inilah kunci untuk memahami bagaimana paradigma komunikatif bekerja dalam mengatasi kemacetan praksis teori kritis.

Kemudian, dihadirkanlah perihal prosedur-prosedur untuk membentuk sebuah pemahaman perihal hukum di negara demokratis. Selain juga memberikan penjelasan mengenai letak moral di dalam hukum tersebut. Karena seringkali hukum dan moral dibenturkan secara frontal di dalam demokratisasi masyarakat yang plural.


Tentu saja, prosedur hukum tersebut terbentuk di dalam ruang publik yang di dalamnya muncul dialog horisontal antar warganegara. Ruang publik yang terdapat pada dimensi duniakehidupan (lebenswelt) ini berkaitan dengan sistem yang bekerja sekitarnya, yaitu sistem adminitrasi dan pasar. Ruang publik merupakan sarana warganegara untuk menyampaikan aspirasinya secara bebas dan rasional perihal kepentingannya. Aspirasi tersebut kemudian disaring oleh semacam bendungan publik, yaitu semacam pengujian intersubyektif yang otomatis terdapat di dalamnya. Tentu saja elemen kedaulatan rakyat harus ada disini.

Demokrasi deliberatif ini hanya bisa tercapai apabila ruang-ruang publik mendapatkan kedaulatannya secara penuh. Jika ini diingkari, maka demokrasi hanya berada di tataran prosedur (bukan proseduralistik) dan bukan substantif. Sistem-sistem yang mengitari dunia-kehidupan tidak boleh melakukan intervensi sama sekali. Kekuasaan yang dimiliki sistem-sistem harus digunakan untuk menjaga ruang publik agar tetap otonom dan bukan berposisi di bawahnya. Karena jika itu yang terjadi, mustahil muncul masyarakat komunikatif dan demokrasi deliberatif. [Dimuat dalam Newsletter Tegalboto Pos Edisi VII]

Menyejarahkan Alun-Alun

Menyoal alun-alun tanpa menilik sejarahnya sama seperti buah yang lupa pada pohonnya. Alun-alun yang terdapat di hampir seluruh kota/kabupaten di seluruh nusantara, khususnya di pulau Jawa, telah memiliki umur setua sejarah nusantara itu sendiri. Banyak sumber percaya bahwa pembabakan sejarah alunalun dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, pra-kolonial, kolonial, dan pasca-kolonial (kemerdekaan sampai sekarang).

Masa prakolonial atau yang biasa disebut jaman kerajaan, alun-alun adalah bangunan wajib dan 'suci' yang wajib dimiliki oleh suatu kerajaan. Alun-alun pada masa Majapahit misalnya, adalah wilayah di dalam keraton dimana para raja biasa menerima tamu kenegaraan. Seringkali alun-alun diasosiasikan menjadi batas antara 'yang sakral' (keraton) dan 'yang profan' (daerah di luar keraton). Alun-alun di dalam terma kerajaan mempunyai dua fungsi (bahkan di beberapa kerajaan seringkali memiliki dua alun-alun untuk memisahkan fungsi ini) yaitu sebagai pusat pemerintahan (upacara atau resepsi kenegaraan) dan sebagai tempat digelarnya pesta rakyat.

Selain itu, fungsi alun-alun juga sebagai pusat dimana rakyat berkesempatan melihat rajanya memberi pengarahan untuk para prajurit kerajaan. Ini juga merupakan fungsi alun-alun sebagai simbol tata pemerintahan suatu kerajaan.

Ketika masa agama Islam masuk ke nusantara, maka lingkungan keraton dan alun-alun juga mengalami modifikasi serta penyesuaian kebudayaan. Hampir di seluruh kerajaan Islam, di sebelah barat alun-alun dibangun masjid. Masjid di sebelah alun-alun ini, selain untuk ritual-ritual suci keagamaan juga digunakan sebagai pertunjukan seni bernuansa agamis.

Masa kolonial atau masa penjajahan, alun-alun perlahan lebih 'membumi'. Ini terkait dengan sistem pemerintahan Belanda. Dalam sistem pemerintahan 'Inlandsch Bestuur', pejabat Pribumi yang tertinggi adalah 'Regent' atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Menurut Kartodirjo dalam Perkembangan Peradaban Priyayi (1987), di dalam sistem pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah, yaitu: Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara, Negara Agung, Mancanegara, dan Pasisir. Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya.

Sistem ini yang menerapkan sistem karesidenan demi memecah wilayah untuk cakupan yang lebih kecil. Setiap residen (atau provinsi) dipecah lagi menjadi daerah lebih kecil, yaitu kabupaten yang dipimpin bupati. Pada pemahaman inilah pemahaman alun-alun pada masa kolonial dibentuk. Daerah yang dibentuk ini menyerupai keraton, dimana alun-alun terletak di utara kediaman bupati (pendopo kecil atau miniatur keraton) dan di sebelah baratnya terdapat masjid. Pada masa inilah alun-alun berkembang tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan semata namun juga pusat ekonomi, sosial, dan budaya bagi daerah tersebut.

Masih menurut Kartodirjo, pada jaman kolonial Belanda, Pulau Jawa dibagi menjadi 3 provinsi yang membawahi 18 karesidenan dan 66 kabupaten. Namun, orang-orang pribumi hanya mendapat tempat menjadi bupati. Rumah Bupati terletak di sebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat Masjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, terminal bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai replikasi identitas kota-kota di Pulau Jawa pada jaman kolonial. Pada jaman ini, alun-alun sedikit demi sedikit mulai digunakan lebih merakyat, untuk aktivitas ekonomi yang melibatkan khalayak umum. Ini terbukti dengan munculnya pasar dan ruang-ruang publik sederhana lainnya di sekitar alun-alun.

Setelah Indonesia lepas dari masa penjajahan, dalam beberapa aspek alun-alun mengalami pergeseran makna dan fungsi. Alun-alun yang merupakan bagian dari kompleks keraton tidak lagi dipahami sebagai batas makrokosmos dengan mikrokosmos. Melainkan sebagai ruang-ruang kegiatan politis dan bertemunya masyarakat luas untuk melakukan berbagai macam aktivitas sosio-ekonomi. Hal ini menjadi agak membingungkan. Kebingungan pemahaman ini sejatinya telah dimulai dari jaman kolonial Belanda, yang seolah memaksa alun-alun menjadi suatu bagian pemerintahannya di nusantara.

Seiring kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan, fungsi alun-alun berkembang lebih luas dari yang pernah dibayangkan, apalagi pasca keruntuhan orde baru. Otonomi daerah yang kemudian diterapkan mau tidak mau juga mempengaruhi ruang gerak alun-alun. Konsepsi mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah salah satunya. Alun-alun diharapkan bisa menjadi sandaran sebuah wilayah kota/kabupaten sebagai pengolah polusi udaranya. Aplikasi RTH ini memiliki konsekuensi yaitu harus adanya regulasi pemkot/pemkab yang tepat guna. Serta tentu saja harus dibarengi dengan adanya peran serta masyarakat dalam menjaga alun-alun kota/kabupatennya. Disamping (jika ada) pembangunan alun-alun yang ramah dan fungsional di lingkup ekologis dan sosiologis.

Penggunaan alun-alun dengan berbagai macam fungsi barunya tersebut juga turut menyumbangkan kontribusi bergesernya konsepsi alun-alun. Sebagian warga kota saat ini mungkin akan berpendapat bahwa alun-alun adalah representasi dari kotanya. Sebagian lagi akan mengatakan bahwa alun-alun adalah tempat rekreasi ditambah refreshing. Memang, langkah jaman tidak lagi dapat dibendung dengan mempersoalkan fungsi alun-alun yang terdahulu. Namun hendaknya fungsi alun-alun tidak lagi disandarkan hanya pada dimensi-dimensi ekonomi, melainkan paling utama juga kegunaannya sebagai ruangnya warga kota/kabupaten. Ruang publik.[]

Paradoks Pemberantasan Korupsi dan Pedidikan Awal-Mula

Sudah bertahun-tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, sudah banyak kasus-kasus korupsi bernilai jutaan hingga ratusan milyar terungkap, dan banyak pula koruptor yang dijebloskan ke terali besi, meskipun juga dimungkinkan banyak kasus yang belum diungkap dan koruptor yang belum ditangkap. Kinerja KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi memang pantas diapresiasi dan diacungi jempol, walaupun masih banyak juga pekerjaan rumah KPK yang masih harus diselesaikan, entah itu masalah otoritas konstitusi (yang seringkali terbentur dengan badan legislatif) ataupun pada saat in action (waktu penangkapan dan sebagainya). Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita beranjak pada itu semua.


Negara dan Masalah Liberalisasi
Langsung atau tidak, ketika harus berbicara korupsi, kita juga diharuskan untuk berbicara Negara, yang dalam kajian comparative politics (perbandingan politik) seringkali didefinisikan sebagai, “amalgama elemen-elemen ideologis, sosial, politik, dan ekonomi yang diorganisir dalam keadaan khusus” meskipun juga disebutkan bahwa Negara adalah, “bukan subyek yang riil, tapi kekuasaannya eksis melalui penggunaan aparatur Negara (seperti militer, eksekutif, namun dalam konteks ini adalah KPK).” Sekali lagi, definisi tersebut mungkin juga belum mewakili apa yang terjadi sekarang, sehingga menurut penulis juga masih perlu untuk menjlentrehkan tentang genealogi Negara, tentunya Indonesia. Yang menurut penulis lebih dekat pada John Locke.

Locke yang Liberalis memandang bahwa, Negara adalah hanya sebatas penjaga hak-hak dasar dari manusia di dalamnya. Hak-hak yang meliputi hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi itu harus dilindungi oleh Negara, karena kalau hak-hak tersebut dilanggar, maka akan terjadi kekacauan dalam Negara. Locke mengatakan bahwa “Negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup dan kebebasan terhadap bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat, tapi tidak semua (dikutip dalam J.J. von Schmid dalam karyanya Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, 1965)”. Jadi Locke menganggap bahwa diciptakannya Negara bukan untuk menciptakan kesamaan atau mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tak seimbang, tapi hanya untuk menjaga kepemilikan hak-hak tersebut. Untuk menjamin hal tersebut, maka Negara harus dipisahkan menjadi 2 kekuasaan, yaitu pembuat undang-undang (legislatif) dan pelaksana kekuasaan (eksekutif). Kekuasaan legislatif diserahkan pada parlemen yang diisi oleh kaum bangsawan dan borjuis, agar parlemen tidak terlalu kuat, maka pelaksaannya diserahkan pada eksekutif. Jika eksekutif melanggar, maka dia akan melanggar kehendak rakyat. Hal dikemudian hari disempurnakan oleh Montesquieu menjadi Trias Politica dengan menambahkan kekuasaan yudikatif (penegak hukum), sehingga eksekutif dan legislatif dapat diawasi pelaksanaannya. Sistem kenegaraan seperti inilah yang banyak dianut oleh kebaanyakan Negara modern kini. Dan Indonesia tentunya, seperti yang penulis sebut di atas tadi.

Berangkat dari kacamata tersebut, penulis menganggap bahwa Liberalisme yang dianut Indonesia (langsung atau tidak), tentu memberikan kesempatan pada setiap individu untuk berusaha dan mengakumulasi setiap hasil usahanya, karena seperti yang disebutkan oleh Adam Smith dalam karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (terbitan X Gutenberg Project tahun 2002) bahwa jika setiap orang berusaha sebaik-baiknya sesuai spesialisasinya, maka akan terjadi prosperity untuk semua individu dan pada akhirnya Negara akan ikut sejahtera juga. Paham yang menjadi cikal bakal kapitalisme ini tentu menguntungkan semua individu dalam Negara, namun ada hal lain yang mungkin sudah disadari juga akan merusak Negara. Derivasi negatifnya adalah jika beberapa atau semua individu melakukan usaha atau pengakumulasian hasil usaha dalam Negara dengan cara-cara yang tidak sah, yang di era kekinian disebut juga Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak sekali kasus korupsi yang terungkap dan mungkin lebih banyak lagi yang tidak terungkap, serta implikasi logisnya ialah rakyat kehilangan haknya, hak hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, dan lainnya.


Pendidikan dan Pemberantasan Korupsi
Di atas sudah dituliskan tentang liberalisme yang mengijinkan (bahkan mengharuskan) Negara untuk menjaga tiap-tiap hak dari warga negaranya (rakyat), hal tersebut seringkali terampas secara tidak sadar lewat tindak KKN (white collar crime) yang sangat tidak dimungkinkan dilakukan oleh rakyat kebanyakan (apalagi yang berada di luar jajaran birokratis) namun berefek luar biasa pada rakyat itu sendiri, meskipun secara tidak langsung. Saya andaikan ada kabupaten X yang sedang membangun jalan raya, dengan dana sekian ratus milyar, namun pada saat pembangunan jalan ada beberapa pegawai negeri dalam proyek itu yang membeli bahan untuk pengerjaan jalan tersebut tidak sesuai dengan yang disepakati (kualitas lebih rendah) dan selisihnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Jelas akan terjadi penurunan kualitas jalan raya tersebut, mungkin aspal yang cepat mengelupas, terjadinya kecelakaan karena jalan tidak rata dan sebagainya. Tentu ini akan merugikan pengguna jalan (rakyat) yang bahkan tidak mengetahui berapa dana pengerjaan jalan tersebut. Ironis.

Disinilah KPK harus bertindak, tidak sekedar mengungkap dan menangkapi kasus korupsi dan koruptor saja, juga diperlukan dimensi yang sinergis antara KPK dan rakyat yang bias dilakukan lewat pengumuman hasil tangkapan, atau pengumunan siapa saja lembaga terkorup, dan lain-lainnya, yang tentunya dibutuhkan ide kreatif dan cerdas dari KPK. Pun demikian KPK juga harus memberi semacam pelatihan atau pendidikan singkat yang mendalam (untuk mengantisipasi modus korupsi yang semakin berkembang) pada masyarakat umum, sehingga jika ada tanda akan terjadi tindak KKN di tempat yang tidak terjangkau oleh KPK, bisa diantisipasi dan digagalkan jika memungkinkan.

Selain beberapa hal di atas, ada satu hal yang sangat tidak mungkin ditinggalkan dalam pemberantasan korupsi di Negara kita yang tercinta ini, yaitu sistem pendidikan. Seperti yang pernah dikatakan Martin Luther King, Jr., “Intelligence plus character that is the goal of true education.”, pendidikan memegang peranan kunci dalam setiap permasalahan di Indonesia, yang dalam tulisan ini penulis memaksudkannya pada pemberantasan korupsi. Karena jika KPK (terus?) memberantas tindak korupsi sementara karakter kebangsaan manusia Indonesia tetap saja tidak terbentuk untuk melawan korupsi, maka yang terjadi korupsi akan terus-menerus terjadi, karena seperti kutipan di atas, percuma seorang pandai atau cerdas (intelligence) tapi tidak berkarakter, dan itulah tugas sistem pendidikan. Solusinya mungkin pada pendidikan elementer dan menengah, diharuskan ada mata pelajaran seperti “Anti Korupsi’ sebagai langkah awal untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang berkarakter. Tentu saja karakter yang seperti tertuang pada Sila ke 2 Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, bukan biadab seperti orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya yang seharusnya milik orang lain, juga bukan seperti orang yang dan bergelimang harta tidak sah di atas penderitaan dan kelaparan para buruh, petani dan kaum miskin kota. Semoga.[]