Kau Memanggilku sebagai Konsekuensi

Adakah hujan yang lebih deras dibanding kehidupan?

Ia membawaku ke punggung lembah. Disini aku merasa tenang, sangat tenang. Di depan mataku lewat sungai kecil. Jalur sempit tak menghalangi lembut suara air mengalir di dalamnya. Aku tekuk kakiku, duduk. Ia tetap berdiri.

“Pilihanku untuk pergi bukan pilihan yang tidak kupikirkan,” ia menjawab pertanyaanku yang sempat beku tadi, “Belum pernah aku merasa selega waktu itu.” Aku tidak punya balasan untuk jawabannya itu.

Lalu ia duduk di sampingku.

Lembah ini letaknya tidak jauh dari hamparan sawah. Antara mereka hanya terpisah oleh gundukan setinggi beberapa kali tinggi tubuhku, dengan jalan setapak yang membelah. Kalau langit mendung, biasanya ada kabut yang mengerubung, diantara pohon-pohon tua yang nampaknya sedang memasang tanda berkabung.

“Aku lega bukan karena aku berhasil pergi, tapi karena aku berhasil mengatasi keraguan di benakku,” ia mengatur nafas yang sepertinya akan tergesa, “terlebih lagi, dengan pilihan itu aku menjadi bukan lagi aku yang dulu.”

Aku melempar pandang ke arah wajah di sebelahku, heran.

Tampaknya ia mengerti kalau aku punya pertanyaan,

“Karena sekali lagi aku mampu menerima diriku sebagaimana diriku, bukan bagaimana seharusnya diriku.”

Aku berpikir keras. Kami terdiam agak lama.

“Aku tidak pernah memahamimu dengan utuh,” giliranku mengatur nafas,

“Aku menangkap suasana kalimat-kalimatmu, tapi aku tidak menangkap prosesnya. Kau tahu aku paham benar kalau kita tidak bisa lepas dari pilihan-pilihan. Tiap soal selalu menyediakan jawaban, dan tiap jawaban selalu menyatakan soal lainnya.”

Ia mengarahkan pandang ke arahku, menatapku lekat, lalu mengarahkan lagi ke depan. Rautnya nampak gelisah.

Adakah kata-kataku yang tidak pada tempatnya? Ataukah kata-katanya yang bergerak miring?

Bibirnya bergerak, “Aku tidak menyangka yang kau pahami justru pembalikan dari maksudku. Tiap kita usai memilih, tersisa hanya konsekuensi yang membawa pada pilihan lain. Jalani atau tidak segala konsekuensi dari pilihanmu. Itupun seringkali tidak semuanya. Tapi yang paling penting, kita harus berupaya menjalaninya. Kau pasti tahu maksudku. Kau paham benar diriku.

Sore datang dengan cantik. Bayangan kami semakin memanjang. Ia melindungiku dengan bayangannya dan aku melindungi pohon disampingku dengan bayanganku. Di depan kami ada sepasang lagi yang siap bertemu dan bergulung erat. Cahaya dan gelap. Mereka akan bercinta, kalau bukan berzina beberapa saat nanti.

Pemilik bayangan yang menumpuk tubuhku ini aku kenal sejak lama, sangat lama bahkan. Kami muncul dari kantong air yang sama. Bedanya ia beberapa tahun lebih dulu. Sejak lama pula aku tidak pernah mengenalnya dengan kuat. Ia mudah sekali mengacuhkan hal-hal yang malah aku anggap sangat penting. Kami lebih sering saling memunggungi daripada saling menatap.

“Konsekuensi-konsekuensi yang aku bicarakan dalam banyak hal biasa disebut akibat. Kau sudah tahu kalimatku selanjutnya,” ia menahan sejenak ucapannya, aku tetap diam, “tiap akibat muncul oleh sebab.”

“Kalau pilihan menyediakan konsekuensi, yang artinya memberikan pilihan turunan untuk dipilih, dan terus berulang, lalu kenapa kau mau repot-repot memilih?” aku mulai menemukan detak pembicaraan ini,

“Sedangkan untuk diri sendiri saja seringkali kita tidak bisa menghindar.”

“Perbedaannya terletak pada sejauh mana batas konsekuensinya kau letakkan,” ia memberi isyarat cukup tegas tentang keteguhannya.

“Itu ada di luar kendali alam sadar kita,” aku coba menolak kalimat terakhirnya, “Kalau kau tahu dimana letak batas terjauh konsekuensi yang kau lemparkan, itu sama halnya dengan dengan tidak memilih. Bayangkan kalau aku melemparkan konsekuensi suatu hal ke pilihan yang sama, maka aku melakukan hal yang sama dua kali dalam rentang waktu hampir berurutan.”

“Itu bodoh namanya,” ia menyahut, suaranya meninggi.

“Hanya sedikit orang yang melakukan itu, dan kau tahu sedikit orang itu siapa? Orang gila. Dan aku yakin kau belum sampai kesana.

Aku diam, mencoba tetap tenang. Kupandangi terus bergiliran sungai di bawahku dan barisan genteng di depanku.

“Tidak ada yang dilahirkan dalam keadaan gila, ingat itu,” usai berkata, ia berdiri.

Aku berusaha keras untuk tenang, sambil meneruskan kalimatku tadi, “Apalagi jika datang dua situasi dengan dua pilihan di masing-masing situasinya, tapi kau harus bersamaan memilihnya. Bagaimana jika ternyata kedua konsekuensinya bertemu pada satu titik? Atau minimal memiliki kaitan?” aku masih tidak berani menatapnya, “Kalau kau tahu dimana batas konsekuensi pilihan-pilihanmu …”

“Sudahlah, nadanya seolah ingin menerkamku, “Jangan anggap hidup kita yang paling berat. Jangan anggap seolah kau adalah manusia yang harus mengambil pilihan paling dilematis di permukaan dunia. Jangan pernah berpikir seperti itu!”

Ada apa dengannya. “Lantas kenapa nadamu meninggi? Kenapa kau marah?” aku tak sabar menanti ia menjawab.

Tapi justru kami berdiam diri cukup lama.

Seperti yang aku duga, dalam diam kami bersama-sama menyaksikan drama percintaan alam: awan dan cahaya bercumbu.

“Aku sadar kata-kataku tidak tepat benar, aku hanya mencoba meluruskan apa yang aku anggap bengkok dari pemahamanmu,” nadanya kembali datar seperti biasanya.

“Ya aku tahu. Sejak kau pergi dari rumah mas, aku selalu bertanya kenapa aku harus dilahirkan,” dan aku sudah menyiapkan kata-kata ini sejak awal perbincangan kami, “Dan kenapa aku diberi kehidupan hanya untuk bebas.”

“Maafkan aku. Dulu aku memanggilmu sebagai konsekuensi bagi hidupku. Saat ia melahirkanmu, aku tahu aku tidak akan pernah lagi menjalani hidup yang sama,” ia tetap memandang lurus ke depan, “Aku harus membiayai sekolahmu, mengurus kebutuhanmu, memberikan kebebasan yang dulu milikku padamu. Aku sungguh minta maaf.”

Aku tak menyangka ia menyebutkan hal itu.

“Baiklah, kalau demikian, ambil saja hidupmu yang dulu. Silahkan. Aku yang akan mengambil keterpenjaraanku sekarang.” Aku tinggikan suaraku.

“Tak perlu, aku tak mau. Aku terlanjur menyatu dengan penjara itu.” Ia menimpali dengan suara yang sama tingginya, “Jalani saja hidupmu.”

Kami lalu mendiamkan masing-masing lagi. Ingin rasanya aku muntahkan gelisahku, tapi aku tahu ia tak akan peduli. Kami berdua sama-sama dilahirkan egois. Dituntut untuk peduli hanya pada hidup kami masing-masing. Kalau ada yang mengikat kami, mungkin itu hanya hukum kausalitas. Lebih tepatnya, aku adalah akibat dari apa yang pernah ia lakukan dulu dengan ibu. Sekarang aku cuma ingin memandanginya lebih lama. Terima kasih kebebasan karena ia lah yang mengijinkanku untuk mengutuknya setiap hari. Sampai hari ini, hari kematian ibu.[]