Paradoks Pemberantasan Korupsi dan Pedidikan Awal-Mula

Sudah bertahun-tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, sudah banyak kasus-kasus korupsi bernilai jutaan hingga ratusan milyar terungkap, dan banyak pula koruptor yang dijebloskan ke terali besi, meskipun juga dimungkinkan banyak kasus yang belum diungkap dan koruptor yang belum ditangkap. Kinerja KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi memang pantas diapresiasi dan diacungi jempol, walaupun masih banyak juga pekerjaan rumah KPK yang masih harus diselesaikan, entah itu masalah otoritas konstitusi (yang seringkali terbentur dengan badan legislatif) ataupun pada saat in action (waktu penangkapan dan sebagainya). Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita beranjak pada itu semua.


Negara dan Masalah Liberalisasi
Langsung atau tidak, ketika harus berbicara korupsi, kita juga diharuskan untuk berbicara Negara, yang dalam kajian comparative politics (perbandingan politik) seringkali didefinisikan sebagai, “amalgama elemen-elemen ideologis, sosial, politik, dan ekonomi yang diorganisir dalam keadaan khusus” meskipun juga disebutkan bahwa Negara adalah, “bukan subyek yang riil, tapi kekuasaannya eksis melalui penggunaan aparatur Negara (seperti militer, eksekutif, namun dalam konteks ini adalah KPK).” Sekali lagi, definisi tersebut mungkin juga belum mewakili apa yang terjadi sekarang, sehingga menurut penulis juga masih perlu untuk menjlentrehkan tentang genealogi Negara, tentunya Indonesia. Yang menurut penulis lebih dekat pada John Locke.

Locke yang Liberalis memandang bahwa, Negara adalah hanya sebatas penjaga hak-hak dasar dari manusia di dalamnya. Hak-hak yang meliputi hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi itu harus dilindungi oleh Negara, karena kalau hak-hak tersebut dilanggar, maka akan terjadi kekacauan dalam Negara. Locke mengatakan bahwa “Negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup dan kebebasan terhadap bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat, tapi tidak semua (dikutip dalam J.J. von Schmid dalam karyanya Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, 1965)”. Jadi Locke menganggap bahwa diciptakannya Negara bukan untuk menciptakan kesamaan atau mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tak seimbang, tapi hanya untuk menjaga kepemilikan hak-hak tersebut. Untuk menjamin hal tersebut, maka Negara harus dipisahkan menjadi 2 kekuasaan, yaitu pembuat undang-undang (legislatif) dan pelaksana kekuasaan (eksekutif). Kekuasaan legislatif diserahkan pada parlemen yang diisi oleh kaum bangsawan dan borjuis, agar parlemen tidak terlalu kuat, maka pelaksaannya diserahkan pada eksekutif. Jika eksekutif melanggar, maka dia akan melanggar kehendak rakyat. Hal dikemudian hari disempurnakan oleh Montesquieu menjadi Trias Politica dengan menambahkan kekuasaan yudikatif (penegak hukum), sehingga eksekutif dan legislatif dapat diawasi pelaksanaannya. Sistem kenegaraan seperti inilah yang banyak dianut oleh kebaanyakan Negara modern kini. Dan Indonesia tentunya, seperti yang penulis sebut di atas tadi.

Berangkat dari kacamata tersebut, penulis menganggap bahwa Liberalisme yang dianut Indonesia (langsung atau tidak), tentu memberikan kesempatan pada setiap individu untuk berusaha dan mengakumulasi setiap hasil usahanya, karena seperti yang disebutkan oleh Adam Smith dalam karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (terbitan X Gutenberg Project tahun 2002) bahwa jika setiap orang berusaha sebaik-baiknya sesuai spesialisasinya, maka akan terjadi prosperity untuk semua individu dan pada akhirnya Negara akan ikut sejahtera juga. Paham yang menjadi cikal bakal kapitalisme ini tentu menguntungkan semua individu dalam Negara, namun ada hal lain yang mungkin sudah disadari juga akan merusak Negara. Derivasi negatifnya adalah jika beberapa atau semua individu melakukan usaha atau pengakumulasian hasil usaha dalam Negara dengan cara-cara yang tidak sah, yang di era kekinian disebut juga Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka seperti yang kita lihat sekarang ini, banyak sekali kasus korupsi yang terungkap dan mungkin lebih banyak lagi yang tidak terungkap, serta implikasi logisnya ialah rakyat kehilangan haknya, hak hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, dan lainnya.


Pendidikan dan Pemberantasan Korupsi
Di atas sudah dituliskan tentang liberalisme yang mengijinkan (bahkan mengharuskan) Negara untuk menjaga tiap-tiap hak dari warga negaranya (rakyat), hal tersebut seringkali terampas secara tidak sadar lewat tindak KKN (white collar crime) yang sangat tidak dimungkinkan dilakukan oleh rakyat kebanyakan (apalagi yang berada di luar jajaran birokratis) namun berefek luar biasa pada rakyat itu sendiri, meskipun secara tidak langsung. Saya andaikan ada kabupaten X yang sedang membangun jalan raya, dengan dana sekian ratus milyar, namun pada saat pembangunan jalan ada beberapa pegawai negeri dalam proyek itu yang membeli bahan untuk pengerjaan jalan tersebut tidak sesuai dengan yang disepakati (kualitas lebih rendah) dan selisihnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Jelas akan terjadi penurunan kualitas jalan raya tersebut, mungkin aspal yang cepat mengelupas, terjadinya kecelakaan karena jalan tidak rata dan sebagainya. Tentu ini akan merugikan pengguna jalan (rakyat) yang bahkan tidak mengetahui berapa dana pengerjaan jalan tersebut. Ironis.

Disinilah KPK harus bertindak, tidak sekedar mengungkap dan menangkapi kasus korupsi dan koruptor saja, juga diperlukan dimensi yang sinergis antara KPK dan rakyat yang bias dilakukan lewat pengumuman hasil tangkapan, atau pengumunan siapa saja lembaga terkorup, dan lain-lainnya, yang tentunya dibutuhkan ide kreatif dan cerdas dari KPK. Pun demikian KPK juga harus memberi semacam pelatihan atau pendidikan singkat yang mendalam (untuk mengantisipasi modus korupsi yang semakin berkembang) pada masyarakat umum, sehingga jika ada tanda akan terjadi tindak KKN di tempat yang tidak terjangkau oleh KPK, bisa diantisipasi dan digagalkan jika memungkinkan.

Selain beberapa hal di atas, ada satu hal yang sangat tidak mungkin ditinggalkan dalam pemberantasan korupsi di Negara kita yang tercinta ini, yaitu sistem pendidikan. Seperti yang pernah dikatakan Martin Luther King, Jr., “Intelligence plus character that is the goal of true education.”, pendidikan memegang peranan kunci dalam setiap permasalahan di Indonesia, yang dalam tulisan ini penulis memaksudkannya pada pemberantasan korupsi. Karena jika KPK (terus?) memberantas tindak korupsi sementara karakter kebangsaan manusia Indonesia tetap saja tidak terbentuk untuk melawan korupsi, maka yang terjadi korupsi akan terus-menerus terjadi, karena seperti kutipan di atas, percuma seorang pandai atau cerdas (intelligence) tapi tidak berkarakter, dan itulah tugas sistem pendidikan. Solusinya mungkin pada pendidikan elementer dan menengah, diharuskan ada mata pelajaran seperti “Anti Korupsi’ sebagai langkah awal untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang berkarakter. Tentu saja karakter yang seperti tertuang pada Sila ke 2 Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, bukan biadab seperti orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya yang seharusnya milik orang lain, juga bukan seperti orang yang dan bergelimang harta tidak sah di atas penderitaan dan kelaparan para buruh, petani dan kaum miskin kota. Semoga.[]

1 komentar: