Menyidik Ulang Dialog Hume dan Kant, atau Apakah? (1)

Apakah ilmu pengetahuan itu? Pertanyaan itu telah menjadi hakikat dari tiap kebingungan metafisis seluruh pemikir dari segala jaman. Bahkan, metafisika sendiri sempat disingkirkan dari ‘khasanah ilmu pengetahuan’. Mungkin pernyataan di atas bukanlah justifikasi yang tepat ketika dihadapkan pada fakta historis bahwa metafisika telah dipelajari secara serius selama berabad lamanya. Sejak era Filsafat Yunani sampai era Positivisme, yang kemudian mencapai puncak penyingkirannya pada masa Positivisme Logis (Donny Gahral, 2006; 30-33).



Filsafat adalah salah satu rujukan utama dalam pemilahan dan kerangka berpikir manusia. Pun demikian, perlu memilah filsafat sebagai medan berpikir menjadi beberapa bidang. Metafisika, atau sering disebut ontologi adalah poin pertama, kalau bukan utama. Kemudian ada dimensi epistemologi, aksiologi, etika dan estetika. Di pihak lain, Filsafat juga dapat dianggap berada di ‘intermediate beetwen theology and science,’ (Russell, 1945). Disebut ‘beetwen’ karena memang begitu luasnya wilayah kerja filsafat. Otomatis, jika menggunakan pemahaman Russell, filsafat itu sendiri terpisah dari ilmu pengetahuan (dan dogma atau agama atau teologi). Russell kemudian menjelaskan kenapa filsafat ada ‘diantara’ karena, seluruh dogma adalah milik teologi, sedangkan seluruh pengetahuan yang pasti adalah milik ilmu pengetahuan.

Filsafat seperti mengantisipasi ketika argumen-argumen dogmatik milik teologi menjadi tidak bisa lagi tampak begitu meyakinkan bagi sebagian orang (atau masyarakat). Sedangkan di pihak lain, banyak pergerakan dari filsafat yang sejak awal ‘terlalu’ spekulatif bagi ilmu pengetahuan. Disini, filsafat bukanlah bertindak sebagai jembatan kedua hal tersebut, dikarenakan memang posisinya berada di tengah keduanya. Sering pula, filsafat mendapatkan serangan bertubi-tubi dari keduanya, begitu juga sebaliknya, filsafat juga tidak jarang menyerang keduanya.

Dalam filsafat, kita mengenal tradisi empirisisme, utamanya di dalam kerangka Humean, sebagai embrio ilmu pengetahuan yang habis-habisan menihilkan konsepsi metafisika-spekulatif. Meskipun konsepsi yang disebut belakangan ini dimunculkan oleh filsuf setelahnya, Immanuel Kant (1781; 241-242). Hume menganggap bahwa bagaimanapun, pengetahuan manusia hanya sah disebut kebenaran apabila dapat diklasifikasikan pada apriori-analitis atau aposteriori-sintesis, (David Hume, 1902 [1777]; Section/Bab I-II).

Secara sederhana dua kebenaran Hume dapat dipahami seperti ini. Kebenaran analitis adalah kebenaran yang didapat dari sebuah pernyataan yang ‘telah’ disepakati atau dianggap atau diyakini kebenarannya lewat analisis intra-kalimatnya sebagai kebenaran. Contoh sederhananya adalah pernyataan, “Janda adalah perempuan yang pernah menikah.” Pernyataan tersebut tidak perlu lagi diragukan kebenarannya karena kesepakatan masyarakat yang memberi istilah ‘janda’ pada seorang yang pernah menikah. Kebenaran jenis ini khas sekali dalam wilayah matematika, yang memang pencarian kebenarannya berada di ranah analitis, contohnya seperti, 2 + 2 = 4. Maka tidak perlu kita mencari sejumlah bukti untuk membenarkan atau menyalahkan, namun cukup melihat susunan kalimatnya.

Kebenaran kedua adalah kebenaran sintetis. Kebenaran ini didapatkan lewat pembuktian dengan fakta empiris, bukan bergantung sepenuhnya pada makna kalimat. Pernyataan seperti, “Dalam sejam ini ada dua laki-laki yang berambut merah di radius 1 km,” tidak bisa dianggap ‘benar’ sebelum kita memutari jarak tersebut dan memang menemukan dua lelaki berambut merah. Singkat kata, kebenaran pernyataan ini harus dicocokkan dengan kejadian di luar kalimat itu. Hal ini biasa disebut, verifikasi.

Sedangkan apriori atau aposteriori adalah dua istilah yang telah populer digunakan sejak era Filsafat Yunani Klasik. Dimana apriori berarti sebelum-dialami (a-priori) dan aposteriori berarti telah-dialami. Akhirnya, lazim disebut bahwa pengetahuan apriori cenderung dekat dengan terma-terma analitis, sebaliknya, kebenaran sintetis menyandarkan dirinya pada pembuktian. Sebuah kenyataan yang harus dialami terlebih dahulu, aposteriori.

Dua kebenaran Humean ini dapat dipahami sebagai tertutupnya pintu metafisika pada basis pengetahuan-pemahaman manusia. Upaya Hume yang mencoba membersihkan ilmu pengetahuan dari sisi metafisis, dengan menetapkan hanya ada dua kebenaran memberikan sumbangan besar pada apa yang hari ini disebut sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Sebuah arena pemikiran yang secara spesifik membahas perihal-perihal ilmu pengetahuan, termasuk bermacam perdebatan paradigmatik secara menyeluruh dan mendetail.

Sedangkan Kant menganggap ada kebenaran ketiga, yaitu sintetis-apriori, kebenaran yang melampaui dua kebenaran sebelumnya. Kebenaran ini mengarahkan pemahaman manusia bahwa ada suatu konsepsi yang ‘telah’ dialami (sintetis) dan merupakan suatu pernyataan yang universal (apriori). Contoh pernyataan yang masuk pada kebenaran ketiga mungkin seperti ini, “Tuhan memerintahkan manusia untuk menyembah diriNya.” Apa yang dapat dimaknai dari kalimat ini? ‘Tuhan’, yang dianggap sebagai sebuah personal, menjadi absurd sekaligus buram. Bisakah dibuktikan secara empiris? Tentu tidak.

Kalaupun sebagian orang menunjukkan beberapa kejadian yang susah untuk dirasionalkan, hal tersebut tidak membuktikan bahwa ‘Tuhan’ memang benar-benar ada. Sehingga pernyataan tersebut menjadi miskin, bahkan nihil makna bagi para empiris seperti Hume. Sebagian orang tersebut mungkin mengaku dapat memastikan pernah mengalami kejadian-kejadian tersebut, namun seperti kata Hume, filsuf harus benar-benar skeptis akan sejumlah pengalaman yang dia miliki. Setelah skeptis, maka metodenya untuk menyelidiki pengetahuan tersebut akan lebih jernih, tidak dogmatik.

Pada titik ini, Kant berusaha untuk menantang pendirian Hume dengan mengembalikan metafisika ke dalam ilmu pengetahuan. Atau paling tidak pada struktur pengetahuan manusia. Kant membelah pengetahuan antara pengetahuan ‘murni’ dengan pengetahuan ‘empiris’ (Kant, 1781; 14). Sebelum menjelaskan perbedaan diantara keduanya, Kant mengutarakan, “... tidak ada pengetahuan manusia yang mendahului pengalaman.” Pengalaman adalah awalan. namun bukan seluruh pengetahuan manusia menyandarkan dirinya pada pengalaman.

Namun, sesekali ujar Kant, kita menemukan suatu proposisi yang menyatakan makna atas keseluruhan pengalaman. Proposisi ini sifatnya apriori serta merupakan gabungan pemahaman secara bertahap. Proposisi ini, seperti yang dicontohkan oleh Kant sendiri adalah, “Every change has a cause." (ibid.) Proposisi ini disebut Kant sebagai ‘pengetahuan apriori murni’. Pengetahuan ini berbeda dengan kedua jenis pengetahuan Hume, proposisi ini tidak bisa (atau tidak mampu?) dianalisis secara analitis intra-kalimatnya. Karena apa yang ada di dalam kalimat tersebut sdbagai ‘every change’ adalah pengalaman menyeluruh, membutuhkan fondasi seluruh pengalaman akan perubahan. Oleh karenanya mustahil untuk diempiriskan. Namun kita semua tahu bahwa ada ‘perubahan’ di luar sana, dan mungkin sebagian dari kita percaya bahwa ‘semua perubahan’ disebabkan oleh suatu hal.

Sedikit menengok lebih ke belakang, yang-utuh (kalau bukan yang-seluruhnya atau proposisi ‘seluruh’) disebut Descartes dalam kata pengantar ‘Discourse on the Method of rightly conducting the Reason and seeking for Truth in the Sciences’ (1637), sebagai “...Penguatan eksistensi Tuhan sebagai dasar dari metafisika.” Diskursus mengenai metode, salah satu dari enam bagiannya adalah ‘tata-cara’ penalaran (atau yang nantinya disebut sebagai penyelidikan-saintifik). Dalam konteks ini, secara langsung Descartes memang memberikan pengaruh besar terhadap kedua filsuf ini, Hume dan Kant. Karena dualisme ‘jiwa’ dan ‘tubuh’ yang diutarakan Descartes direspon Hume dengan keras lewat skepstisisme-verifikatifnya. Lantas metode Descartes tentang skeptisisme-idea-absolut direspon oleh Kant dengan analitika-transedentalnya.

Sayangnya, daripada menyebut kebenaran sintetis-apriori Kant tersebut sebagai ‘Tuhan’, lebih memadai jika menyebutnya sebagai ‘metafisika’ yang berdiri sendiri. Kant sendiri mengakui bahwa ‘akal budi/nalar-murni’ (pure-reason) adalah sebentuk spekulasi metafisis. Kant membantu kita dengan meringkasnya menjadi sebuah pertanyaan, “Bagaimana penilaian (judgement) sintetis dapat (me)mungkin(kan) secara apriori?” (ibid. 20). Seperti yang telah disentuh sedikit diatas, Hume mendapatkan argumen-argumennya karena berpedoman teguh pada kaidah anti-spekulatif. Hume hanya mau mengklasifikasikan atau mendefinisikan segala sesuatunya selama ia berada di wilayah pengalaman plus pernyataan yang menggunakan logika matematis. Spekulasi di wilayah metafisika dapat dikatakan sebagai kekosongan makna bagi Hume, karena ia tidak dapat diselidiki lantas dibuktikan kesahihannya sebagai pengetahuan, terlebih sebagai ilmu pengetahuan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar