Absurditas; Tentang Kota, Tentang Kita



Jika tubuh adalah sirkuit tempat ingatan-ingatan saling berlarian, maka nalar adalah hanya sebatas ‘yang seolah-olah’. Benjamin, yang pernah sengit berpolemik dengan Adorno soal banyak hal, mencuatkan sebuah teknik bertajuk historiografi fragmentaris. Dalam hal ini, secara singkat, dapat dipahami bahwa historiografi fragmentaris adalah sebentuk pedang yang bisa digunakan untuk menebas semak belukar—Ia menyebutnya ‘tradisi’—agar kita bisa memunguti remah-remah masa lalu yang sebelumnya menjadi bagian inheren dari diri. Tapi kemudian terpenggal dan tertinggal entah dimana(-mana).

Kalau tubuh melakukan hal yang sama berulang kali, mengabaikan haknya untuk beristirahat, seperti Sisipus yang diperkenalkan ulang oleh Camus, maka nalar, dengan kata ganti lain budi atau akal, akan memberontak. Nalar akan melakukan dilematisasi, melakoni kewajibannya. Ia, lalu mengambil jalan memutar demi membela 'manusia' yang hadir sebagai prasyarat adanya tubuh dan nalar.

Dualisasi macam ini memang sangat beresiko, lebih-lebih jika dicangkokkan secara anonim semisal pada kasus Sisipusnya Camus. Akan tetapi dualisasi semacam ini juga tak kelewat asing, oleh karenanya resikonya (pernah) tertanggungkan. Taruhlah Hobbes yang menggambarkan hidupnya Leviathan, seorang anonim lainnya yang dengan serius mengamati keseluruhan manusia, bahkan barangkali, lebih awas dibanding manusia-manusia sendiri.

*****

Pentingnya menilik lebih lanjut historiografi fragmentaris berbanding lurus dengan kenyataan-kenyataan yang kita temui belakangan. Di Yogyakarta, misal. Munculnya kerinduan yang teramat sangat terhadap efek-efek dan implikasi dari apa-saja-yang-radikal, menandai satu penggalan fase signifikan dalam dunia-terjalani yang serba cair namun berkelok-kelok ini.

Baliho dan reklame yang secara paksa menasbihkan diri mereka membawa ciri tertentu sebuah kota, disertai lampu sorot yang menolak padam, adalah bukti bahwa tradisi, senyampang ia dipahami dan ditelan sebagai kenangan, telah kerontang hanya sebatas lewat sebagai pembicaraan sekilas. Maka, ia tak dapat lagi dibela. Surabaya dan Bandung, mendapat persamaannya dalam level ketakterbelaan ini.

Konteks absurditas menjadi bersyarat. Dan selayaknya apapun, persyaratan sudah barangtentu membawa sayap, yang tak pernah diduga ketika pertama kali disepakati. Sayap-sayap yang secara melingkar melakukan tahap demi tahap deideologisasi terhadap kota. Kota, menjadi tubuh besar yang asing terhadap bagian-bagiannya sendiri, tak ada tuntunan pasti dan utuh yang di titik terjauhnya, akan membuat kota menjadi takut bahkan hanya untuk sekedar bertanya, “(Si)apa diri saya?”

Model seperti ini, yang setelahnya meminta iring-iringan dari rembesan-rembesan nalar, dapat dicerap dari halusinasi terhadap trotoar. Para pejalan kaki menjadi obyek tersubyeksi yang insomnia, terluka di dalam, dan hilang ingatan. Merasa kosong tanpa bisa menyadari, apalagi ingin melakukan penolakan.

Daerah lain seperti Situbondo, Cirebon, atau secara lebih jelas lagi, Jember, perlu mendapat perhatian khusus. Karena mereka inilah yang sedang melakukan, atau kemungkinan terkenai, keterlipatan akibat obyektifikasi total. Daerah-daerah ini, bukan hanya tak punya keinginan akan apapun, tapi sedang bergerak kencang menuju penyingkapan pengikatan-pengikatan bentuk yang sia-sia. Mereka tak berdaya mengatasi dirinya sendiri, hingga rawan kehilangan nalar, kehilangan tubuh. Kehilangan apapun.

Barangkali memang benar, de gustibus non est disputandum, karena rasa tak bisa diperdebatkan. Kota juga adalah sebuah ‘rasa sejarah’ yang berlapis. Penggambaran-penggambaran tubuh suatu kota menjadi niscaya untuk kota lainnya. Kemutlakan menjadi salah tempat: tak beraturan dan tak pernah bisa dikenali. Keragu-raguan untuk melabeli ‘kota’ pada daerah-daerah tertentu menjadi determinan berharga dalam hal ini.

Sama halnya ketika St. Sunardi bicara ‘rasa sejarah’, ia seperti terputus, atau sengajar memutus jalin dualitas ini. Sebagian besar yang ia lakukan juga sejenis ini: mencacah-cacah ilustrasi menjadi mozaik-mozaik yang seringkali kehilangan simpul satu sama lain. Hanya bagian-bagian kecil yang ‘seolah’ pernah terhubung erat. Barangkali pula, dari sini kota-kota yang disebut belakangan bisa kembali duduk mapan. Tidak lalu memaksa berlari, seringkali terantuk, dan terjatuh, terluka, tanpa mereka sendiri sadari. Seperti kota-kota yang disebut ‘kota’.

Kota-kota nampaknya musti segera menemukan garis penalaran organik yang pernah hadir di tubuhnya. Garis-garis itu yang nantinya akan memberi alasan terhadap ‘rasa sejarah’, jika terma tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan. Hingga kemunculan apapun di transisi kegelisahan bagian-bagian tubuhnya, bagian-bagian nalarnya, tidak berakibat mengejutkan dan fatal bagi absurditas yang sebelumnya terlipat-lipat.

Jika asumsi bahwa identitas ke-kota-an, seperti umumnya identitas ke-kita-an, dianggap menjadi satu kunci untuk memahami kecenderungan otentik masa lalu, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya akan mustahil untuk diselamatkan, atau bahkan, tidak mungkin dapat lagi diperjuangkan. Cirebon, Jember, dan Situbondo akan kehilangan seluruh aspek masa lalunya. Manusia-manusia tidak akan lagi saling berhadap-hadapan, tapi saling memunggungi.

Lebih parah lagi, di skala yang lebih jauh dan global, peradaban dari setiap kota hanya menjadi pemanis berita. Kesusastraaan dan kesenian teronggok bak sampah di perempatan, seperti baliho dan reklame umumnya. Seni dan sastra tak punya lagi estetika cum puitika, sains nihil program riset plus logika-imaji, dan filsafat kehilangan metafisika. “Hidup hanyalah menunda kekalahan,” seperti kalimat Chairil yang terkenal itu.

*****

Nalar absurd, referensi pra-penginderaan, dan segala yang sisa dari kemanusiaan harus sesegera mungkin dipaksa terlibat dalam penyusunan memorial raksasa di tubuh kota-kota. Daerah-daerah harus secepatnya memeriksa kembali fragmen demi fragmen kehilangan mereka sebelum ‘itu’ hilang lenyap sepenuhnya. Sedang kota atau daerah yang mengalami vertigo akut harus mulai menebar bibit-bibit yang berpotensi mengirim pesan dari masa lalu.

Kesemuanya barangkali upaya sia-sia. Tapi titik minimal ini harus diambil melampaui apa yang disebut intelegensia kultural, monumen beserta narasi-narasi yang teraksentuasi oleh kegugupan dan kegagapan moralitas, atau altruisme ‘tradisi-onal’. Melainkan pada pembuktian segala kehilangan, atau yang lebih memutar, penulusuran kolaboratif kecemasan (yang berlanjut hingga hari ini) dengan identifikasi (tanpa terburu-buru menginferensi) akan simpul-simpul metafisis yang mengikatnya.

Kota yang terus-menerus membiarkan dirinya kehilangan absurditas, barangkali serupa lukisan yang berpindah tangan dari pameran umum ke lemari pribadi. Ia menjadi kering fantasi, terkelupas pelan-pelan dari ketakterdugaannya. Sebaliknya, kota yang jarang sekali melakukan pengujian-pengujian terhadap luka dan kehilangan di tubuhnya, meskipun melakukan pengujian tidak kemudian berarti membuatnya benar bulat penuh, akan rentan ‘patah hati’ layaknya remaja atau dewasa yang memasuki puber kedua. Maka selebihnya hanya bisa berdusta di atas kehampaan yang paripurna.

Arena pertaruhan kehilangan, juga merupakan tempat dimana calon-calon Sisipus kecil mengangkat batunya sendiri. Lintasan luka, yang berubah menjadi politik anonim, mensyaratkan kegagalan persepsi ke-warga-an yang terus-menerus, lalu akan kembali menempuh perjalanan menuju persyaratan yang lain.

Arena pertaruhan kehilangan dan lintasan luka, pada sekian dimensinya yang dapat diraih, memberi garis batas tipis yang tegar soal bagaimana ia akan mengeja, menyebut, menulis, atau mengabarkan dirinya sendiri. Semua kekosongan yang menyeliputi kita, kota, bisa dibatalkan atas nama dua hal itu, atau, atas nama absurditas. Karena personalitas kota, Yogyakarta, Surabaya, Badung, Cirebon, Jember, dan Situbondo, seperti personalitas semua hal, termasuk sang penunggang kota: kita, pada hakikatnya adalah juga absurd.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar