Absurditas; Tentang Kota, Tentang Kita



Jika tubuh adalah sirkuit tempat ingatan-ingatan saling berlarian, maka nalar adalah hanya sebatas ‘yang seolah-olah’. Benjamin, yang pernah sengit berpolemik dengan Adorno soal banyak hal, mencuatkan sebuah teknik bertajuk historiografi fragmentaris. Dalam hal ini, secara singkat, dapat dipahami bahwa historiografi fragmentaris adalah sebentuk pedang yang bisa digunakan untuk menebas semak belukar—Ia menyebutnya ‘tradisi’—agar kita bisa memunguti remah-remah masa lalu yang sebelumnya menjadi bagian inheren dari diri. Tapi kemudian terpenggal dan tertinggal entah dimana(-mana).

Kalau tubuh melakukan hal yang sama berulang kali, mengabaikan haknya untuk beristirahat, seperti Sisipus yang diperkenalkan ulang oleh Camus, maka nalar, dengan kata ganti lain budi atau akal, akan memberontak. Nalar akan melakukan dilematisasi, melakoni kewajibannya. Ia, lalu mengambil jalan memutar demi membela 'manusia' yang hadir sebagai prasyarat adanya tubuh dan nalar.

Dualisasi macam ini memang sangat beresiko, lebih-lebih jika dicangkokkan secara anonim semisal pada kasus Sisipusnya Camus. Akan tetapi dualisasi semacam ini juga tak kelewat asing, oleh karenanya resikonya (pernah) tertanggungkan. Taruhlah Hobbes yang menggambarkan hidupnya Leviathan, seorang anonim lainnya yang dengan serius mengamati keseluruhan manusia, bahkan barangkali, lebih awas dibanding manusia-manusia sendiri.

*****