Tiga sendi air mata yang-sakral, tiga kisi-kisi lainnya

Sebuah Cerpen Apresiasi atas Karya Grafis Widi Widahyono berjudul ‘Skenario Diam-Diam’



Awalnya aku pikir ia datang sendirian, tapi, ternyata ia datang dengan kekasihnya. Bukan, hmm... tidak, aku tidak cemburu. Ini terlalu kusut untuk kau sebut cemburu.

Noktah pelangi di wajahku, tentu saja aku melihatnya di cermin tuaku, sudah tumbuh. Ia punya akar di kepalaku, di dadaku, di sikuku, di jempol kakiku, dan di kelaminku.

Aspal jalanan melunak saat malam mulai meninggalkan kelam, disamping kehendaknya yang menjebak para sepatu, ia gelisah. Apa yang harus ku lakukan setelah puas?

***

“Menarilah di glosarium kenyataan, saat orang-orang tertidur lelap.” Ex Scientarium.

Ia terus mendesakku, dengan material, dengan kumpulan, lebih-lebih dengan raut wajahnya yang lemas. Inikah erotisme? kapan aku bisa terangsang? Aku belum tahu jawabannya.

Dia pernah berkata demikian, lalu demikian-demikian lainnya. Sampai setebal buku yang aku ingat. Kau dan kekasihnya, tentu juga ingat.

***

Seluruh tubuhku kejang, kaku. Kau, yang kusebut terus sepanjang dewasaku, aku mohom hembuskan nafasmu. Jadi aku bisa tenang di remang karang.

Aku yakin harus ada yang mengabadikan terbitnya matahari. Saat pertama kali cahaya menghujam tanah. Harus!

“Berjalanlah di detik demi detik leher manusia, karena ia yang menghubung-pisahkan otak dengan hati.”

***

Temui aku nanti, akan kuberi semua keinginanmu. Sekarang buku pakaianmu, lalu menunduklah, tekuk lenganmu, dan telungkupkan jari-jarimu. Mulailah berkomat-kamit.

***

Aku mengingat jelas kata demi kata darimu, “kualitas akal budi ditentukan sejauh mana ia bisa memilah dan membagi alokasi hasratnya...” Waktu itu suaramu terdengar muram, parau sekali. Untung aku berada dekat, sangat dekat denganmu, mungkin kita hanya menyisakan jarak sedikit saja.

Interval sejarah yang kita lipat hingga jadi hanya setitik itu sayangnya tidak diimbangi konsensus akan beberapa hal, itu yang aku sesali, “mungkin kita hanya berbeda untuk hal ini,” selalu begitu yang kau katakan, selalu.

Kau pelajar yang baik, aku juga. Aku memiliki sebagian keinginanmu, kau memutuskan menjalankan sebagian kemauanku. Aku membenci yang kau benci, dan kau mencintai yang aku cintai. Kau hidup di dunia yang aku buat, dan aku, hidup di wilayah yang kau petak-petak sendiri. Kita kurang apa?

Jawabannya mungkin, hanya satu, “aku akan kembali padanya...” Tulang-tulangku langsung nyeri jika kau mengatakannya. Apalagi kalau sorot matamu menegas dan dahimu mengeras. Sumpah, jangan kau ulangi di depanku.

Sedangkan aku? Sungguh mending kau kucilkan aku ke tempat kemana saja kau ingin, atau ke neraka? Aku rela, asal tidak kembali padanya... tapi kenapa ia telah memaklumatkannya, kenapa? Akankah kau percaya kelam yang kita rasakan ternyata tidak cukup untuk membuatmu bangga menjadi putra air mata.

Entah, kita sudah sama-sama dewasa. Tak perlu kita saling menarik kerah, mencaci, memukul, atau menusuk. Cukup dengan kata-kata, cukup dengan isyarat mata, karena dua hal itu adalah perspektif.

Kita pernah berbincang lama, tentang kategori, tentang bentuk, tentang tubuh, tentang... Tapi, kau tahu itu percuma sekarang. Kini kau hanya serupa handuk basah, yang lupa dijemur pemiliknya setelah digunakan. Nanti kau akan membusuk, dan terus saja kau berkata, “aku berada di jalan yang benar, dan kau, segeralah betobat.”

Memang, muramnya bintang yang kita lihat bersama kadang mengobati rasa kesalku padamu hei plin-plan. Kau selalu tiba-tiba menjadi cerdas jika pandangan kita sama-sama mengarah ke atas, “kau tahu, sekian bintang-bintang itu seperti indeks pada buku yang kita pernah rencanakan dahulu. Ia ada disana, disini, kadang bertumpuk, tapi sering menyisakan langit yang lengang. Mirip, kita yang atur letaknya. Mana yang kita anggap penting, mana yang tidak.”

Dan aku akan jawab, “jadi kau pikir bintang-bintang itu boneka? Yang bisa kau tulis dan hapus, letakkan dan buang seenakmu? Haha ayolah, jangan bercanda.”

“Ya begitulah, awalnya aku juga tak percaya, tapi, bagaimana mungkin kau tahu itu hal yang tidak mungkin?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya menolak untuk tahu, sekalipun itu benar. Aku pikir, ini untuk diriku sendiri, dan aku tidak perlu bijaksana pada diriku sendiri.” Aku melepaskan suaraku, dan ia menghujamkan matanya padaku.

“Cukup, aku tak kuat mendengarmu.”

“Iya,” dalam hati aku menjawab.

Jalan pulang setelah perbincangan itu rasanya seperti menjauh. Kakiku seperti linu, pegal. Kami putra air mata. Aku masih yakin itu. Sama seperti aku yakin kalau jalanan ini juga makin memanjang. Aku renta, aku batu, aku lemas, aku keras.

“pilihan resolusi bagi kita memang hanya ada 2, terus berteman dengan sepi atau hiruplah sesak. Kau pilih bergolak maka kita teruskan berjalan, kau akan menemukan sepi bersamaku. Kau hirup sesak, ikutlah banyak orang itu, Cuma mungkin mereka tidak merasa.” Akhirnya kuberanikan berkata demikian padamu.

“aku tak ingin menyudahi, sungguh, sumpah. Tapi kau melewati batas usiamu, kau melampaui batas kedewasaan seorang pejalan kaki. Kau tidak mungkin bisa sendirian. Percayalah.”

Dadaku makin sesak, “kau lebih mirip pecundang besar ketimbang semua orang.”

“sudahlah, … “ selalu tak pernah kau selesaikan ucapanmu.

Lalu ketika jalanan ini belum habis kau memilih berhenti, kau berbalik, seolah kakimu yang kukuh itu tak mampu meraih langkah lagi. Padahal aku tahu pasti dahulu kau jauh lebih kuat dari yang aku lihat sekarang.

Punggungmu makin menjauh, kecil dan terus mengecil. Aku balikkan badanku, aku teruskan berjalan… tidak, aku berlari, agar saat berbalik kau tidak sanggup melihatku. Mungkin, ini kata mungkin pertama yang pasti aku katakan, kita tidak lebih dari aura waktu yang terpisah ruang. Karena pisau kegelisahan kita tidak cukup tajam untuk merobeknya.

Sampai di akhir jalan pun aku harus menerima pleidoi keterpurukanmu. Ini aku beri air mataku sebagai gantinya. Air mata yang deras meluncur karena ketidakmampuan untuk memisahkan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan kekuasaan.

1 komentar: