Waktu itu masih awal tahun 2008, saat pertama kali saya ngopi dan nyangkruk di Kantin Sastra. Ketika saya sampai sudah ada cukup banyak orang, yang baru kemudian saya tahu kalau itu karyawan, mahasiswa, dan dosen. “Hah, dosen?!” Begitu gumam saya. Kok bisa dosen ada di kantin, ngobrol dan bercanda seru dengan karyawan, terlebih lagi, dengan mahasiswa? Sebagai mahasiswa kampus-sebelah yang baik, FISIP, saya tentu heran. Di FISIP tidak pernah ada dalam sejarah (paling tidak sejarah yang saya tahu), dosen, karyawan, dan mahasiswa bisa duduk bersama, berbagi meja, obrolan, sampai gojlokan. Sebagai tambahan betapa menyenangkannya bagi saya saat-saat tersebut, itulah pertama kalinya saya merasa beruntung menjadi mahasiswa Unej.
Saya sama sekali tidak bermaksud meletakkan ‘dosen’ sebagai makhluk luar biasa yang berbeda dengan karyawan atau mahasiswa. Cuma saya tidak pernah menemui sebelumnya kejadi tersebut. Terlebih bagi saya yang sepanjang hidup dididik dalam sistem pendidikan negara ini. Waktu SMA, kebiasaan saya juga sama, cangkruk di kantin. Guru-guru sepertinya tidak sudi untuk berbaur dengan siswa, terus berlanjut di masa-masa awal kuliah, dosen juga seperti itu. Itu yang membuat saya secara langsung tertarik untuk coba masuk di wilayah sastra (dan seni), meskipun saya tidak cukup kuat berlama-lama.
Tentang Sastra (dan Seni) yang Dapat Saya Pahami (1)
Sejak saat itu saya mulai mencoba hal baru: membacai teks-teks sastra, mendengar lebih cermat berbagai lagu, serta melihat beberapa gambar aneh. Sebagian besar rituil itu saya lakukan sambil lalu saja, kalau sedang suntuk atau penat. Sastra (dan seni), sejauh yang saya sadari tidak memberikan apa-apa kecuali satu hal, yaitu ruang kosong untuk berefleksi lalu kembali bersemangat. Paradigma berpikir nyastra (dan nyeni) jujur saja sangat jauh untuk saya jangkau. Paling banter setelah saya membacai teks-teks sastra, mencermati lagu, dan menyimak gambar-gambar saya hanya mendapatkan sedikit jeda untuk merenungi keseharian. Lantas di beberapa waktu, memberi sedikit ketidak-perlu-takutan akibat dikejar oleh bayangan-bayangan dan gerakan-gerakan serba cepat yang-katanya-modernitas itu.
Paradigma berpikir yang saya maksud di atas seperti ini. Saya cenderung membedakan karya sastra (dan seni) dengan karya dari disiplin lainnya, seperti ilmu dan filsafat, terlebih agama. Karena harapan saya, yang lalu terkabul belakangan, sastra (dan seni) lebih memberikan kebebasan pada pembuat dan penikmatnya untuk bereksplorasi tentang apapun. Berbeda dengan ilmu secara umum apalagi agama. Sampai hari ini keyakinan saya tentang hal tersebut masih belum terbantahkan, sastra (dan seni) masihlah barisan depan untuk membicarakan ‘kebebasan’. Ya ‘bebas’ yang kecil-kecil dalam berkarya mulai eksplorasi diksi dan struktur kalimat sampai yang super-besar seperti cinta dan Tuhan.
Sebagai seorang yang awam tentang sastra (dan seni), saya geram ketika sastra (dan seni) diturunkan derajatnya secara langsung untuk hal-hal yang mekanis, macam yang kita temui dengan terma-terma seperti ‘the art of politics’, ‘the art of leading’, ‘the art of managing’, ‘seni mencari uang dari rumah’, dll. Wah, menurut saya itu jelas pelecehan yang eksplisit bagi sastra (dan seni). Kenapa? Pikiran saya sederhana saja, sastra itu indah sekaligus seram, bukan menjijikkan dan atau terdikte jaman.
Sedangkan di sisi lain, sejauh yang saya pahami, kita sama-sama sedang berada di masa huru-hara. Sering disebut sebagai ‘era posmodern’. Ketika yang-Tunggal dimatikan, digantikan dengan yang-banyak. Saat yang-otentik pergi, dan yang tinggal hanya jejak-jejaknya. Tidak ada hierarki, maka yang tersisa anarki. Kira-kira seperti itu. Rasanya semua arus utama keilmuan sedang terguncang pondasinya, entah sosiologi (positivisme), ilmu eksak (khususnya fisika), ekonomi (utamanya epistemologi kapitalistik), dan yang pernah intens saya lihat, politik (behaviorialisme dan sederetan arus positivistik).
Di wilayah sastra, sudah terlalu banyak yang mengumumkan perihal ‘kematian sang-pengarang/pencipta’. Di salah satu kolom pada rubrik ‘Seni’ Kompas minggu (tepatnya tulisan pada kolom ‘Polemik’ di bawah kolom ‘Cerpen’), sejak awal bulan Desember 2010 sampai Januari 2011 bergantian para pegiat dan pengamat sastra (dan seni) mengamini adagium Barthes tersebut. Tentu saja implikasi ‘kematian’ tersebut bukan sekedar efek saja dari banyaknya teks di luar sana yang masuk ke Indonesia lantas secara gradual diinternalisir kalangan sastrawan (dan seniman). Tetapi juga jadi penyebab bagi ‘kematian’ yang lain-lain, seperti kritikus serta karya sastra (dan seni) itu sendiri.
Hari ini adagium Barthes diatas mungkin memang telah niscaya. Segala macam perangkat digital yang diiringi masifnya alat-alat produksi membuat karya sastra (dan seni) hanya jadi buih-buih di lautan yang penginderaan. Semua orang mampu membuat karya sastra (dan seni) lantas mempublikasi lalu langsung dapat ditanggapi oleh ‘pembaca’. Hiperpublikasi dari para ‘pengarang’ yang seringnya tidak memasukkan variabel keseriusan-dalam-berkarya dihadapkan pada hipertanggapan/komentar para ‘pembaca’ yang bahkan tidak mampu mengupayakan keseriusan-ketika-membaca-dan-memikirkannya. Ya sudah.
Tentang Sastra (dan Seni) yang Dapat Saya Pahami (2)
Pada lingkup yang lebih sempit, arena kesustraan (dan kesenian) kampus nampaknya banyak terpengaruh sekaligus hampir tidak peduli dengan kematian sang-pengarang/pencipta itu. Kedua hal tersebut jelas terlihat ketika banyak publikasi karya warga kampus Unej di berbagai media, utamanya mahasiswa yang seringkali meninggalkan atau kehilangan ‘aura mistis’ sastra (dan seni) itu sendiri. Menurut saya, disinilah letak perbedaan yang signifikan antara ‘kematian’ yang dialami di luar dan di dalam kampus.
Saya sendiri agak bingung menjelaskan yang saya sebut ‘aura mistis’ di atas. Namun intinya seperti ini, saat memerasai karya sastra (dan seni), entah pertemuan yang keberapa antara kita dengan karya sastra (dan seni) tersebut, seringkali ada beberapa bagian pada internal diri kita yang tersedot pada karya tersebut, hanyut, entah karena karya tersebut memiliki gaya yang memikat atau kedalaman yang memukau sampai ajakan dari pengarang untuk pembaca untuk memikirkan atau merefleksikan sesuatu hingga kita para pembaca tidak pernah bosan memerasainya lagi.
Mungkin subyektifitas saya terlalu padat saat mengatakan bahwa ‘aura mistis’ pada karya sastra (dan seni) mahasiswa Unej telah tiada. Akan tetapi saya yakin kalau subyektifitas tersebut lebih banyak membunyikan kebenaran daripada justifikasi negatif yang berlebihan.
Begini, paling banyak saya mengalami hal tersebut (hilangnya ‘aura mistis’) saat membaca, melihat, atau mendengar karya-karya sastra (dan seni) yang temanya ‘umum’, ‘lazim’ dan telah sering sekali dikaryakan. Bahkan menjadi semacam tema wajib. Tentu saja saya mengacu utamanya pada tema-tema seperti cinta (atau sejenis dan variannya macam perasaan pada orang yang disukai, rindu/kangen, benci, perselingkuhan, dll.), seks an sich, persahabatan, konflik rumah tangga, dan beberapa tema lainnya. Entah saya yang sudah bosan, atau memang karena karya-karya tersebut (baik secara sadar maupun tidak) mendegradasi dirinya sendiri dengan terus-menerus membicarakan tema-tema tersebut. Kok seperti tidak ada hal lain yang bisa dijadikan tema.
Mahasiswa Fakultas Sastra, yang basis identitasnya secara langsung terikat dengan sastra (dan seni), khsusnya pada olah-karya dan sedikit bagian laporan penelitian, sejatinya harus mengantisipasi berbagai kemungkinan hadirnya ‘aura mistis’. Setidaknya untuk pembaca terdekatnya yaitu sesama mahasiswa. Bagaimanapun juga, mahasiswa yang bergerak dan berdetak di jantung kesusastraan (dan kesenian) kampus selayaknya memiliki kepedulian-jejaring terhadap lingkungannya. Syukur-syukur kalau sampai pada tingkatan kesadaran-diskurus hingga mampu membawa para pembaca, penikmat, dan pengamatnya berpikir bahwa masih ada percik kreatif-menyegarkan di Unej, yang makin lama makin dijejali kebusukan eksistensial ini. Bukan malah membawa pada arah yang asal-asalan, ‘asal kuliah’, ‘asal lulus cepat’, ‘asal punya banyak perangkat teknologi, ‘asal berwirausaha’, ‘asal jadi mahasiswa yang-katanya-modern’, dan ‘asal-asal’ yang sedemikian banyaknya hari ini.
Sastra (dan seni) yang diolah, diproduksi, dan didistribusikan oleh para mahasiswa bukankah lebih ideal jika mampu menjadi semacam pandangan alternatif yang kemudian memberikan dorongan serta peluang-peluang bagi sebagian besar mahasiswa lainnya agar beraktivitas-kreatifitas, juga mengajak untuk tidak selalu mengabdi pada kebingungan-kebingungan mereka sendiri. Bingung bagaimana caranya dapat nilai A, dapat beasiswa, menyelesaikan kuliah, hingga bingung setelah kuliah akan bagaimana. Bukan karya sastra (dan seni) yang malah mengafirmasi, menimbun sekaligus mereplikasi pengkhianatan-pengkhianatan yang telah lama dilakukan kampus terhadap niat mulia pendidikan dan prinsip ‘kemanusiaan’ seperti memanusiakan manusia.
Pada level ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk memasuki arena polemik sastra (dan seni) ‘untuk-publik’ (atau Adornoian) vis a vis ‘untuk-seni-itu-sendiri’ (Benjamian), kemudian Lekra vs Manikebu, atau tipikal-tipikal keturunannya yang lain. Sebab saya sangat tidak memahami hal tersebut.
Serangkaian argumen repetitif tersebut diatas saya susun disebabkan beberapa ‘karena’ yang hadir di nalar saya yang notabene awam sekali mengenai sastra (dan seni). Karena saya meyakini sastra (dan seni) itu menakjubkan. Mulai karyanya itu sendiri, proses kreatif pengarang/penciptanya, polemik diantara karya-karya yang dihasilkan, sampai pada efek terhadap pembaca/penikmatnya. Karena sastra (dan seni) adalah bahasa lain dari agama, ilmu, atau bahkan filsafat. Bahasa lain yang menawarkan pencerahan-pencerahan lain, yang sebagian besar lebih menyejukkan. Karena sastra (dan seni) adalah teks yang melampaui kepelikan metafisis para filsuf juga kedangkalan pemikiran masyarakat yang kesehariannya telah memproklamirkan benda dan teknologi sebagai Tuhannya. Karena sependek yang saya tahu lalu sadari 2-3 tahun belakangan, sastra (dan seni) masih dan akan terus mencerahkan. Seabsurd dan seelok apapun karya sastra (dan seni) itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar