Menyoal alun-alun tanpa menilik sejarahnya sama seperti buah yang lupa pada pohonnya. Alun-alun yang terdapat di hampir seluruh kota/kabupaten di seluruh nusantara, khususnya di pulau Jawa, telah memiliki umur setua sejarah nusantara itu sendiri. Banyak sumber percaya bahwa pembabakan sejarah alunalun dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, pra-kolonial, kolonial, dan pasca-kolonial (kemerdekaan sampai sekarang).
Masa prakolonial atau yang biasa disebut jaman kerajaan, alun-alun adalah bangunan wajib dan 'suci' yang wajib dimiliki oleh suatu kerajaan. Alun-alun pada masa Majapahit misalnya, adalah wilayah di dalam keraton dimana para raja biasa menerima tamu kenegaraan. Seringkali alun-alun diasosiasikan menjadi batas antara 'yang sakral' (keraton) dan 'yang profan' (daerah di luar keraton). Alun-alun di dalam terma kerajaan mempunyai dua fungsi (bahkan di beberapa kerajaan seringkali memiliki dua alun-alun untuk memisahkan fungsi ini) yaitu sebagai pusat pemerintahan (upacara atau resepsi kenegaraan) dan sebagai tempat digelarnya pesta rakyat.
Selain itu, fungsi alun-alun juga sebagai pusat dimana rakyat berkesempatan melihat rajanya memberi pengarahan untuk para prajurit kerajaan. Ini juga merupakan fungsi alun-alun sebagai simbol tata pemerintahan suatu kerajaan.
Ketika masa agama Islam masuk ke nusantara, maka lingkungan keraton dan alun-alun juga mengalami modifikasi serta penyesuaian kebudayaan. Hampir di seluruh kerajaan Islam, di sebelah barat alun-alun dibangun masjid. Masjid di sebelah alun-alun ini, selain untuk ritual-ritual suci keagamaan juga digunakan sebagai pertunjukan seni bernuansa agamis.
Masa kolonial atau masa penjajahan, alun-alun perlahan lebih 'membumi'. Ini terkait dengan sistem pemerintahan Belanda. Dalam sistem pemerintahan 'Inlandsch Bestuur', pejabat Pribumi yang tertinggi adalah 'Regent' atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Siapa sebenarnya Bupati ini pada jaman kolonial? Menurut Kartodirjo dalam Perkembangan Peradaban Priyayi (1987), di dalam sistem pemerintahan Mataram terdapat 4 macam daerah, yaitu: Daerah Inti yang disebut Negara atau Kuthagara, Negara Agung, Mancanegara, dan Pasisir. Daerah Macanegara dan Pasisir, penguasanya dinamakan Bupati. Mereka adalah raja di daerahnya.
Sistem ini yang menerapkan sistem karesidenan demi memecah wilayah untuk cakupan yang lebih kecil. Setiap residen (atau provinsi) dipecah lagi menjadi daerah lebih kecil, yaitu kabupaten yang dipimpin bupati. Pada pemahaman inilah pemahaman alun-alun pada masa kolonial dibentuk. Daerah yang dibentuk ini menyerupai keraton, dimana alun-alun terletak di utara kediaman bupati (pendopo kecil atau miniatur keraton) dan di sebelah baratnya terdapat masjid. Pada masa inilah alun-alun berkembang tidak lagi hanya menjadi pusat pemerintahan semata namun juga pusat ekonomi, sosial, dan budaya bagi daerah tersebut.
Masih menurut Kartodirjo, pada jaman kolonial Belanda, Pulau Jawa dibagi menjadi 3 provinsi yang membawahi 18 karesidenan dan 66 kabupaten. Namun, orang-orang pribumi hanya mendapat tempat menjadi bupati. Rumah Bupati terletak di sebelah Selatan alun-alun, di sebelah Barat terdapat Masjid Agung sesuai dengan kraton Yogyakarta atau Surakarta. Di sebelah utara alun-alun yang berhadapan dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda, yang mengingatkan kita pada benteng Vastenburg dan Vredenburg di hadapan Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di sekitar alun-alun juga terdapat pasar, terminal bus, serta daerah pertokoan yang terletak tidak jauh dari bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model alun-alun inilah yang kemudian berkembang sebagai replikasi identitas kota-kota di Pulau Jawa pada jaman kolonial. Pada jaman ini, alun-alun sedikit demi sedikit mulai digunakan lebih merakyat, untuk aktivitas ekonomi yang melibatkan khalayak umum. Ini terbukti dengan munculnya pasar dan ruang-ruang publik sederhana lainnya di sekitar alun-alun.
Setelah Indonesia lepas dari masa penjajahan, dalam beberapa aspek alun-alun mengalami pergeseran makna dan fungsi. Alun-alun yang merupakan bagian dari kompleks keraton tidak lagi dipahami sebagai batas makrokosmos dengan mikrokosmos. Melainkan sebagai ruang-ruang kegiatan politis dan bertemunya masyarakat luas untuk melakukan berbagai macam aktivitas sosio-ekonomi. Hal ini menjadi agak membingungkan. Kebingungan pemahaman ini sejatinya telah dimulai dari jaman kolonial Belanda, yang seolah memaksa alun-alun menjadi suatu bagian pemerintahannya di nusantara.
Seiring kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan, fungsi alun-alun berkembang lebih luas dari yang pernah dibayangkan, apalagi pasca keruntuhan orde baru. Otonomi daerah yang kemudian diterapkan mau tidak mau juga mempengaruhi ruang gerak alun-alun. Konsepsi mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah salah satunya. Alun-alun diharapkan bisa menjadi sandaran sebuah wilayah kota/kabupaten sebagai pengolah polusi udaranya. Aplikasi RTH ini memiliki konsekuensi yaitu harus adanya regulasi pemkot/pemkab yang tepat guna. Serta tentu saja harus dibarengi dengan adanya peran serta masyarakat dalam menjaga alun-alun kota/kabupatennya. Disamping (jika ada) pembangunan alun-alun yang ramah dan fungsional di lingkup ekologis dan sosiologis.
Penggunaan alun-alun dengan berbagai macam fungsi barunya tersebut juga turut menyumbangkan kontribusi bergesernya konsepsi alun-alun. Sebagian warga kota saat ini mungkin akan berpendapat bahwa alun-alun adalah representasi dari kotanya. Sebagian lagi akan mengatakan bahwa alun-alun adalah tempat rekreasi ditambah refreshing. Memang, langkah jaman tidak lagi dapat dibendung dengan mempersoalkan fungsi alun-alun yang terdahulu. Namun hendaknya fungsi alun-alun tidak lagi disandarkan hanya pada dimensi-dimensi ekonomi, melainkan paling utama juga kegunaannya sebagai ruangnya warga kota/kabupaten. Ruang publik.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar