Setelah reformasi, diskursus dan pewacanaan tentang semua yang berbau “kiri” menjadi tidak seseksi sewaktu Soeharto masih berkuasa. Termasuk di kalangan mahasiswa. Wacana kiri, sepertinya dianggap tidak lagi relevan dengan wacana pendidikan yang (katanya) progresif itu, meskipun seperti yang kita pahami bersama, sistem pendidikan masih tak karuan bentuk jiwa dan raganya. Hanya ada segelintir “oknum” mahasiswa yang berani menyuarakan ke-kiri-annya dengan lantang dan secara kontinyu. Akhirnya, pertanyaan seperti yang tertulis di sub-judul tulisan ini mengemuka, kiri, apakah masih tetap seksi?
Sebelumnya perlu ditelisik terlebih dahulu bagaimana istilah “kiri” akhirnya menjadi sebuah kata ideologis dan sarat makna. Sumber yang paling banyak ditemui percaya bahwa asal-usul “kiri ideologis” berawal dari Revolusi Perancis di medio abad-18, ketika sistem pemerintahan monarki absolut telah runtuh akibat adanya kudeta dari rakyat Perancis yang selama ratusan tahun diperintah oleh raja-raja Louis. Akibatnya, untuk menemukan bentuk baru sistem pemerintahan Perancis, dikumpulkanlah perwakilan-perwakilan rakyat Perancis untuk berkumpul di sebuah gedung (kita sebut saja gedung parlemen).
Para wakil rakyat yang hadir di parlemen memiliki perbedaan wacana tentang apa bentuk sistem pemerintahan Perancis tersebut. Sebagian (bisa diidentifikasi sebagai para kerabat dan borjuis kerajaan) yang memilih untuk mempertahankan sistem monarki absolut duduk di sisi kanan ketua parlemen waktu itu dan sebagian lainnya (para pemberontak dan pejuang kudeta kerajaan) memilih untuk meninggalkan wacana pemerintahan absolut karena terbukti membawa penderitaan bagi rakyat Perancis dan mewacanakan dibentuknya sistem pemerintahan negara republikan. Mereka duduk di sisi kiri ketua parlemen. Dari sana muncul sebutan sayap kanan konservatif (status-quo) dan sayap kiri revolusioner (anti status-quo).
Karl Marx, Awal Kiri atau Kiri Awal?
Istilah kiri tentu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marx tentang dunia dan masyarakat. “Filsuf itu bisanya cuma menafsirkan dunia, padahal yang penting adalah merubahnya!” Kata Marx. Adalah sebuah kritik yang menyengat pada tatanan kefilsafatan yang sudah mapan pada saat itu. Akhirnya muncullah paham Materialisme Dialektika Historis, atau biasa disingkat MDH. Marx menggabungkan pemikiran Hegel tentang dialektika roh absolut dan materialisme Karl Feurbach. Materialisme dialektis sebagai landasan ontologis Marx menjelaskan bahwa semangat
zaman seluruh kehidupan manusia adalah tesis-antitesis-sintesis (dialektika Hegelian) antara relasirelasi produksi ekonomistis. Dimulai dengan komunal primitif manusia purba di mana semua faktor produksi dimanfaatkan bersama, kemudian zaman melangkah menuju sistem feodalis ketika tanah mulai dipetak-petak dan diprivatisasi, yang menjadi relasi antara tuan dan penggarap tanah. Zaman feodalis kembali bergerak “maju” pada sistem industri awal, yaitu hubungan antara majikan-buruh, berlanjut pada sistem kapitalisme lanjut yang merupakan relasi antara kaum borjuis dan proletar. Ketika kesadaran kelas kaum proletariat sudah tumbuh dan mapan, sampailah pada tatanan yang diidam-idamkan oleh Marx, yaitu Komunis.
Sedangkan di tataran epistemologi atau bagaimana cara Marx mengetahui dunia, Marx mengungkapkannya sebagai Materialisme Historis. Dunia dimaknai Marx adalah dikotomi antara basis (infra) dan supra struktur. Basis struktur adalah relasi-relasi ekonomi (seperti yang telah diulas di paragraf sebelumnya) yang menjadi landasan bagi kehidupan manusia. Sedangkan supra struktur adalah seluruh aktivitas ideologis (politik, agama, hukum, seni, dll.) yang sepenuhnya terpengaruh oleh apa-apa yang terjadi pada basis struktur. Ini yang kemudian disebut determinisme ekonomi. Dalam arti, segala yang terjadi pada hubungan kemanusiaan adalah ekses dan dampak dari kehidupan ekonomi manusia itu sendiri.
Sistem kefilsafatan pada masa aufklarung yang bertepatan dengan Revolusi Industri telah termapankan oleh pemikiran-pemikiran Descartes, Kant, dan Hegel dimaknai Marx hanya sesuatu yang tidak berguna bagi dunia, karena bergerak pada tataran pemikiran saja, bukan in action. Rasionalisme Cartesian, Kritisisme Kant sampai Idealisme Hegel dianggap membicarakan hal-hal hanya pada tingkat abstraksi dan absurditas. Karena memang, subjek dan objek pemikiran orang-orang yang telah disebutkan di atas adalah cogito, being, idea dan roh, yang oleh Marx, tidak menemukan bentuk materinya.
Selain itu, karena pada saat itu Marx melihat manusia tidak lagi sebagai manusia, namun sebagai buruh. Marx melihat buruh pada masa itu adalah korban fisik dari pemikiran-pemikiran Kapitalisme. Bagaimana manusia menjadi terasing (teralienasi), atau lebih tepat diasingkan dari tubuhnya. Hal tersebut menjadi bukti ketidakberdayaan buruh melawan sistem besar kapitalisme-industrialisme.
Ketika kondisi buruh-buruh tersebut semakin parah, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya clash of class, pertarungan kelas. Kelas buruh dan proletar tidak lagi hanya diam saja melihat dirinya ditindas. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah dieksploitasi oleh para kaum majikan-borjuis. Bagi Marx, Di situlah kemudian revolusi menjadi satu-satunya jalan. Karena kaum buruh tidak akan kehilangan apapun pada waktu revulosi komunis, kecuali belenggunya, seperti ujar Marx, “… They openly declare that their ends can be attained only by the forcible overthrow of all existing social conditions. Let the ruling class tremble at a Communistic revoluiton. The proletarians have nothing to lose but their chains. They have a world to win. WORKING MEN OF ALL COUNTRIES, UNITE!” Karena penindasan harus dilawan dengan pukulan nyata. Hanya dengan itu maka eksploitasi buruh oleh majikan, proletar oleh borjuis dapat dihentikan, menuju sebuah satu dimensi dunia yaitu komunisme.
Akhirnya bangunan wacana “kiri’ pada masa itu dimengerti sebagai sebuah perjuangan kelas. Buruh melawan majikan, proletar melawan borjuis, yang ditindas melawan penindas. Perjuangan dengan kekerasan, yang kemudian terejawantahkan dalam sebuah tindakan nyata di Rusia. Revolusi Bolshevik, pimpinan Lenin yang meruntuhkan kekaisaran Tsar Nicholas tahun 1917.
Menulis Ulang Ceceran Jejak Marx
Setelah kematian Marx, banyak orang mengklaim pemikirannya adalah penerus pemikiran Marx, atau biasa disebut Marxis. Perbedaan menjadi niscaya, bahkan di antara para Marxis tersebut. Distorsi antar pemikir Marxis menjadi semakin jelas dan nyata, bahkan per distorsi tersebut, menimbulkan sebuah aliran baru, yang juga Marxis.
Sebagai “pelaksana” pemikir Marx, Vladimir I. Lenin di Rusia mungkin orang yang paling taat (setelah F. Engels tentunya) di antara marxis lainnya. Tulisan-tulisannya tentang eksistensi negara, revolusi dan perjuangan kelas serta keberhasilan perjuangan kelas yang diterjemahkannya lewat partai komunis memperlihatkan dengan jelas. Sebutan pengikut marxisme ortodoks melekat di bahu Lenin.
Di Italia, dikenal Antonio Gramsci yang mengungkapkan konsep “hegemoni”. Hegemoni menurut Gramsci menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara–negara kota (polis atau citystates) secara individual, terhadap negara kota lainnya. Contohnya Athena dan Sparta. Dewasa ini, arti hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dan dominasi. Kepemimpinan dilakukan atas segenap sekutu dan dominasi dilancarkan kepada seluruh musuh–musuhnya. Hal ini dilakukan dengan cara–cara seperti kekerasan, agitasi, produksi wacana atau propaganda, dan lainnya. Bagi Gramsci, seorang pemimpin akan memperoleh supremasinya melalui dua cara yaitu dominasi, koersif serta kepemimpinan intelektual dan moral. Singkatnya hegemoni Gramsci ialah gabungan antara paksaan dan kesukarelaan. Di sinilah pisau analisis marxis bertambah lagi.
Louis Althusser dari Perancis juga tidak boleh terlewat untuk menyelami pemikiran kontemporer Marxis. Althusser menerjemahkan pemikiran Marx lewat ISA (Ideology State Apparatus) dan RSA (Repressive State Apparatus). Artinya, ada dua buah aparatus negara bertindak mengkooptasi terhadap warga-masyarakatnya, yang bergerak dengan aktivitas represif (terwakili oleh militer) dan ideologis (perangkat-perangkat “lunak” macam keluarga, instistusi sosial, dll). Althusser melihat penindasan borjuis (yang direpresentasikan lewat negara) tidak hanya dengan jalan kekerasan yang memenjarakan tubuh, tapi juga seputar jalan ideologis yang menekan otak-jiwa yang ditindasnya.
Dalam perkembangannya, aliran pemikiran Marxis menjadi banyak (bahkan sangat banyak) sekali. Bahkan, pengklasifikasiannya pun menjadi banyak. Para pemikir kontemporer tidak selalu mengambil intisari pemikiran Marx. Namun ada yang mengambil karakteristik perlawanan terhadap zaman (seperti Mazhab Frankfurt) sampai memadukannya dengan semangat filsafat anti-modernisme (Michel Foucault). Melebar-luasnya wacana kiri, selain karena dinamisasi semangat zaman, juga karena tuntutan manusia dan kompleksitas permasalahan yang ada di dunia. Itulah realitas yang berkembang di era kekinian.
Mahasiswa Kiri?!
Diskursus kiri seolah nampak tidak relevan lagi di kampus kekinian. Kebebasan media informasi dan perkembangan teknologi membuat mahasiswa sebagai penggerak kritisisme menjadi terbuai. Kesadaran kritis dan budaya baca-diskusi hanya menjadi seonggok sampah di pinggiran kehidupan kampus mahasiswa. Hadirnya wacana literer kiri yang terlanjur menjadi “aib” juga masih dianggap haram di era demokrasi-liberalisasi ini. Pun demikian dengan semangatnya, menjadi ikut tabu untuk diamini.
Ternyata kebebasan demokrasi hanya terbatas pada dirinya sendiri. Non-demokrasi liberalisme adalah non-sense. Meskipun, dari kacamata pribadi saya sebagai mahasiswa, di satu sisi demokrasi menjanjikan kebebasan dan sedikit kebaikan. Namun di sisi lain juga menyimpan keterbatasan dan segudang kebusukan.
Tulisan ini tidak bertendensi untuk mendewakan seorang manusia, namun pemikiran yang telah tersedia di atas nampaknya bisa dijadikan (tidak hanya) sekedar pembicaraan anget-anget telek pitik atau semacam wacana miskin realita. Perubahan harus terus dilakukan, dinamisasi zaman harusnya dipelopori dari dalam kampus. Sebagai panggung intelektualitas, aktor-aktornya paling tidak harus paham bahwa label yang disandangnya bukan label kosong.
Semangat Marx sampai Foucault tentang anti-penindasan dapat menjadi pelecut kita sekalian untuk tetap “kiri.” Kiri dalam arti tetap siap menentang rezim yang korup dan praktek-praktek hegemonik yang kian hari kian akut. Seperti mahasiswa terdahulu yang dengan berdarah-darah menantang peluru. Meskipun saya juga meyakini bahwa kekerasan tidak hanya bisa dilawan dengan revolusi kekerasan, tapi juga revolusi pemikiran. Oleh karena itu, di akhir tulisan ini, dengan sisa semangat yang masih ada, mari kita pertajam perlawanan, karena sistem yang terlihat dan berjalan selalu bisa dilawan dan diubah, menjadi lebih baik untuk kita semua. Atau jika memang berkeras hati untuk berdarah-darah, saya akan kutipkan kata-kata Ken Budha K., “Maka, hanya ada dua jalan terbuka bagi kita: jalan yang revolusioner atau menyerahkan kepala untuk dipancung. Itu saja.” Akhir kata, selamat memilih jalan kiri, yang anda anggap paling seksi. [Pernah dimuat di Buletin Merah Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) Kota Jember edisi November]
Referensi dan bahan tulisan ini saya sandarkan pada:
1. PJTL PPMI Jember yang dilaksanakan di UPM Milenium STAIN pada saat materi “Analisis Sosial” dengan pemateri Dwi Pranoto, tanggal 31 Juli 2009.
2. Diskusi di LPM Alpha FMIPA Unej yang mengambil tema “Terminologi Kiri” bersama Cak Usman dan Mas Dwi Pranoto tanggal 7 Agustus 2009.
3. Jurnal Bersatu. Kapitalisme dalam Krisis, 2009.
4. Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri, 2007.
5. Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, 1999.
6. Frans Magnis-Suseno. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, 1987.
7. F. Budi Hardiman.
a. Filsafat Fragmentaris, 2007.
b. Kritik Ideologi, 1993.
8. Karl Marx. Manifesto of the Communist Party (English edition edited by Friedrich Engels), 1888
Tidak ada komentar:
Posting Komentar